Total Tayangan Halaman
Kamis, 21 Februari 2013
Tamparan Itu
Oleh: Mastiah
Aku kenal dia karena dikenalkan oleh teman
kenalanku. Namaku Bintang katanya dengan suara yang datar. Aku Sunirah,
balasku. Dia gagah, tampan, kharismatik, bodinya atletis. Dari cara
bicaranya mencerminkan bahwa dia pria yang cerdas. Dia pria idamanku.
Sudah satu minggu aku tidak pernah bertemu dengannya sejak dari perkenalanku yang pertama. Aku kangen.
Hari ini dia janji akan bertemu lagi denganku di tempat ini. Dia bilang, bawa
juga temanmu biar suasana lebih ramai. Tapi aku tidak membawa temanku
karena aku ingin berdua saja dengannya, dan aku akan katakan padanya
kalau temanku ada urusan yang tidak bisa ditunda.
Tempat ini sangat sepi, sangat pas untuk berduaan, tetapi sudah satu jam aku duduk di sini, dia belum datang juga. Apa dia lupa dengan janjinya? Sudah enam batang rokok aku hisap, dan segelas bir aku habiskan. Aku gelisah.
Nah itu dia! Dia tidak mengingkari janji. Dia masih seperti dulu,
seperti pertama aku kenal. Kali ini dia mengenakan jeans biru, kaos
hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung,
sampai kira-kira lima centimeter di bawah siku dan kancing kemeja yang dibiarkan terbuka. Aku tertarik.
Sudah menunggu lama ya? Tanyanya dengan suara yang berat . Aku diam saja dan tersenyum tipis.
Temanmu mana?
Ada urusan yang tidak bisa ditunda. Jawabku sesuai dengan rencana.
Lalu dia bercerita panjang lebar tentang keadaan politik dan ekonomi di negara ini. Tampaknya dia khawatir dengan bencana berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia. Aku lebih banyak diam dan hanya sesekali mengomentari. Aku lebih senang menyimak dan memperhatikan dia bicara, aku suka memperhatikan gerakgerik bibirnya yang mengeluarkan pendapat-pendapatnya tentang keadaan negara ini yang sebenarnya aku tak mengerti, dan aku tidak mau ambil pusing. Aku tak peduli.
Bibirnya bagus. Bibir bawahnya tebal tapi tak terlalu tebal, bentuknya jatuh, tapi tak terlalu jatuh. Bibir atasnya tipis tapi
tak terlalu tipis. Warnanya merah, tidak kecil dan tidak lebar. Indah
sekali! Aku bayangkan berciuman dengannya, bau mulutnya wangi, dia tidak
merokok dan tidak minum alkohol. Dia tidak seperti para lelaki yang sering meniduriku di
hotel berbintang dengan kasur yang empuk. Mulut mereka bau rokok dan
alkohol. Aku muak! Walaupun aku juga merokok dan minum alkohol. Aku
benci mereka! Mereka mengkhianati istri mereka dan anak-anak mereka. Jika bukan karena uang, tidak akan kulayani nafsu setan mereka.
Aku terus memperhatikan dia berbicara, tak ingin sedikit pun melepas pandanganku dari menatap wajahnya, terutama bibirnya. Aku tersenyum, aku geli dengan hasrat yang bergejolak di hatiku. Aku gila.
Sepertinya dia sadar bahwa aku terus memandanginya dan sepertinya dia heran dengan senyumku barusan.
Ada apa Nir? Ada yang aneh pada diriku? Dia bertanya sambil memeriksa penampilannya dan keadaan sekelilingnya kemudian bercermin di meja tempat menaruh minuman kami yang kebetulan terbuat
dari kaca. Dia tampak kebingungan. Aku tetap tak melepaskan pandanganku
darinya. Aku suka dengan kebingungannya, aku senang mempermainkan
hatinya.
Lalu dia memandangku. Aku menggelengkan kepalaku
tanda tidak ada yang aneh, lalu aku katakan padanya Everything is ok!
Agar dia merasa tenang kembali. Dia tersenyum lega kemudian menghirup kopi yang sedari tadi tidak pernah disentuhnya.
Lalu kenapa? Kenapa pandanganmu seperti itu kepadaku?
Aku tersenyum dan menjawab tak sepatah kata pun. Lalu kuberanikan diriku untuk mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat, semakin dekat, dekat
sekali. Harum mulutnya semakin terasa di penciumanku. Hangat nafasnya
semakin menggetarkan hasratku. Lalu kudekatkan bibirku ke telinganya.
Dekat sekali. Pipi kami bersentuhan dan bibirku menyentuh telinganya,
lalu kubisikkan, Aku ingin berciuman denganmu!
Why? Dia bertanya lagi dengan suara yang tetap tenang dan sopan, sepertinya permintaanku itu biasa saja dan bukan permintaan yang amoral.
Aku menjauhkan mulutku dari telinganya dan kembali kudekatkan wajahku ke wajahnya. Tepat di depan wajahnya, aku suka
kamu. Kukatakan lirih padanya. Kami terdiam sejenak. Suasana kafe
semakin sepi. Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya, lalu kubuka mulutku
pelan-pelan dan kututup mataku dengan lembut. Aku pasrah! Kutunggu sikapnya, kunanti ciumannya.
Aku tidak mau! Ucapnya singkat dengan suara yang datar. Aku tidak menyangka dengan ucapannya itu, aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan apakah malu ataukah jengkel. Dia angkuh! Dia munafik! Mengapa dia tidak mau, apa dia tidak tertarik
padaku. Aku cantik, tubuhku langsing, putih, mulus, bibirku seksi,
bahkan aku primadona di sebuah hotel berbintang. Para pria hidung belang
rela membayar tarif yang sangat besar untuk tidur denganku. Ah.. dia munafik!
Mengapa? Tanyaku dengan nada jengkel.
Aku sudah punya istri dan anak.
Lalu?
Aku tidak ingin mengkhianati istriku dan memberi contoh yang buruk pada anakku.
Anak dan istrimu tidak ada di sini, mereka tidak akan bisa melihat kita.
Tapi Tuhan melihat kita. Jawabnya datar.
Ahomong kosong dengan jawabannya itu. Aku tak
percaya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah ada, Tuhan hanya khayalan
manusia yang sok moralis saja.
Kalau Tuhan memang melihat kita, coba tunjukkan padaku.
Prak dia menamparku. Keras! Sakit! Aku semakin marah, ingin kukumpulkan semua kekuatanku untuk melawannya tetapi aku tidak kuasa. Aku ingin menangis, tetapi aku tidak mau , aku tidak boleh kalah.
Mengapa, mengapa kamu menamparku? Kamu marah.
Kamu tidak bisa menunjukkan padaku Tuhanmu itu, Ha! Ha..ha..ha.. Aku
tertawa mengejek, geli sekali rasanya hati ini. Tapi aku sakit, sakit
sekali.
Bagaimana rasanya? Sakit? Coba tunjukkan padaku mana sakit itu? bagaimana rupa sakit itu?
Aku diam. Kepalaku tunduk. Aku tidak bisa menatap wajahnya. Aku marah, semakin marah. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya itu.
Kenapa diam? Kamu tidak bisa menjawab
pertanyaanku. Kamu tidak bisa menunjukkan padaku. Itulah Tuhan, Tuhan
tidak bisa dilihat, tapi Dia ada dan hanya bisa dirasakan.
Bintang pergi setelah memanggil pelayan dan
membayar semua pesanan lalu mengucapkan selamat tinggal padaku, dia
pergi berlalu meninggalkanku sendiri yang tetap diam dan tunduk tak
kuasa untuk mengangkat wajahku. Apa benar yang dikatakannya? Aku
bingung, aku tidak tahu. Apa Tuhan bisa dirasakan? Mengapa
aku tidak rasakan itu. Kudiam. Lama aku termenung. Tak terasa air mata
jatuh membasahi wajahku. Aku gelisah, aku malu, aku takut, takut sekali,
sebuah rasa yang pertama kali aku rasakan. Tapi terhadap siapa? Apakah terhadap Bintang, ataukah terhadap Tuhan?
Sastra Indonesia
DASAR DASAR TEORI SASTRA
A. Pengertian Sastra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah
karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki
berbagai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan
dalam isi dan ungkapannya. Karya sastra berarti karangan yang mengandung
nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra
memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun
intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk
menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi
2. luapan emosi yang spontan
3. bersifat otonom
4. otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi)
5. menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan
6. mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Sastra
bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam
menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor
yang menentukan adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai
medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan
dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat
estetik saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial,
moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan
dalam karya sastra.
Sastra
dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya.
Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense).
Dalam ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif.
Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat secara total dengan apa
yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan besar muncul
kenikmatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga bermanfaat
secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang
dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara
yang khusus.
Berdasarkan
uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta
manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat
imajinatif, disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat
relatif.
B. Sastra, Antara Estetika dan Etika
Meski pendapat Laurance Perrine (1959) boleh dianggap kuno, tetapi masih bisa memberi gambaran tentang dua kategori sastra, yang dia sebut sebagai escape literature dan interpretative literature, yang masing-masing punya kelas pembaca sendiri (Sunaryono Basuki Ks. dalam Mozaik Sastra,
2005). Sastra yang termasuk kategori pertama, ditulis semata-mata untuk
menghibur, sekedar mengisi waktu luang. Sastra jenis ini justru membawa
pembacanya menjauh dari kenyataan kehidupan, dan membuat pembacanya
lupa akan masalah yang dihadapinya. Tujuannya cuma memberi kesenangan
atau hiburan saja.
Sastra
kategori kedua ditulis untuk memperluas, memperdalam, serta mempertajam
kesadaran pembacanya mengenai kehidupan. Dengan melalui imajinas,
sastra kategori ini membawa pembaca lebnih dalam ke dunia nyata, membuat
orang mampu memahami masalah-maslahnya, sastra ini membuat orang lebih
mendalami dan memahami masalah-masalahnya, sastra ini membuat orang
lebih memahami kehidupan. Sebuah karya sastra interpretatif menerangi
aspek kehidupan dan perilaku manusia, memberi pemahaman mendalam
mengenai sifat dan kondisi eksistensi manusia.
Karya
sastra yang baik akan mengetengahkan kebenaran mengenai sejumlah aspek
esksistensi kehidupan manusia. Sastra mampu mengungkapkan sebuah
kemerosotan etika dengan balutan estetika yang apik yang berisi pesan
moral atau kritik social dengan cara yang lain. Sastra dengan balutan
estetika dan etika diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai hakiki
karakter, moralitas, dan etik yang bersentuhan dengan problem
kemanusiaan dan berbagai halnya secara perlahan dan tak langsung. Menurut Maman S. Mahayana (Bermain dengan Cerpen,
2006) sastra dihadirkan dengan kesadaran untuk menggoda rasa dan nilai
kemanusiaan. Menyentuhnya secara halus, dan diam-diam menggerayangi hati
nurani kita. Tiba-tiba kita seperti disadarkan untuk melakukan refleksi
pada sesuatu yang tersembunyi di balik fenomena yang terjadi di tengah
masyarakat. Ada rahasia apakah gerangan dan apa maknanya di belakang dan
di hadapan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan itu? Sastra mencoba
menguak dan kemudian menyodorkannya kepada kita dengan cara yang khas.
Hal
di atas sejalan dengan pendapat Jaffe dan Scott (1968), di dalam
membaca karya sastra pembaca akan menemukan (bukan diajari) nilai-nilai
kemanusiaan. Menurut mereka, fiksi yang paling efektif adalah yang
menafsirkan aspek-aspek kondisi manusia secara efisien dan jujur. Dalam
hubungan itulah, sastra mencoba menyajikan dan memaknainya dengan
caranya sendiri. Ia mungkin berbentuk cerita lucu atau kisah tentang
kehidupan di dunia antah-berantah atau mungkin juga menyerupai potret
sosial yang dibalut dengan nilai estetik. Nilai-nilai estetik inilah
yang menjadikan sastra mampu menelusup jauh lebih dalam sampai ke ujung
hati nurani bahkan sampai ke dasar rasa kemanusiaaan.
C. Mengajarkan Estetika dan Etika (Sastra) di Sekolah
Bila
kita sepakat dengan pendapat Laurance Perrine mengenai kategori sastra
yang kedua yang lebih mengedapankan pada aspek estetika dan etika dalam
balutan imajinasi pembacanya. Dengan imajinasinya, pembaca memaknai
karya sastra dalam sebuah bingkai yang penuh makna karena di dalamnya
terdapat nilai estetika dan etika yang sangat bermanfaat bagi
kehidupannya. Pembaca yang cerdas mampu memilah mana karya sastra yang
mampu memberikan manfaat yang berguna bagi kehidupannya, dan mana bacaan
yang sekedar menghibur dan menghipnotis pembaca sehingga melupakan
kenyataan hidupnya, hanya kesenangan sesaat yang diperolehnya.
Franz Magnis Suseno berpendapat
bahwa etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis.
Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkapkan kerancuan. Etika
tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut
agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan.
Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral (Etika Dasar, 2006).
Pengajaran
sastra di sekolah hendaknya mampu memberikan sesuatu yang berguna bagi
siswa. Siswa hendaknya dibawa untuk memamahami dan memaknai hidup secara
nyata melalui iamjinasinya sehingga mampu memberi pemahaman secara
mendalam mengenai sifat dan kondisi eksistensi manusia.
Guru
dalam melaksanakan pembelajaran sastra di sekolah hendaknya mampu
memilih dan memilah karya-karya yang berbobot yang memberikan manfaat
estetis dan etika. Ada satu pesan moral yang disampaikan dalam balutan
keindahan dalam sebuah karya sastra. Guru yang bijak tidak akan
memilihkan bacaan-bacaan yang sekedar memberikan hiburan semata, yang
justru meracuni siswa dengan melupakan eksistensinya sebagai manusia.
PERIODISASI SASTRA INDONESIA
Periodisasi
sastra adalah penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari
awal kemunculan sampai dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun
kemunculan, periodisasi sastra juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri
sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan
pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya
kreatifnya.
Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1.
Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan lama
Indonesia dibagi menjadi:
a. kesusastraan zaman purba;
b. kesusastraan zaman Hindu Budha;
c. kesusastraan zaman Islam;
d. kesusastraan zaman ArabMelayu.
2. Kesusastraan
Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir
Munsyi. Karya- karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi antara lain:
a. Hikayat Abdullah;
b. Syair Singapura Dimakan Api;
c. Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah;
d. Syair Abdul Muluk, dll.
3.
Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencakup kesusastraan pada
zaman:
a. Balai Pustaka / Angkatan 20;
b. Pujangga Baru / Angkatan 30;
c. Jepang;
d. Angkatan 45;
e. Angkatan 66;
f. Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.
Selain
penjelasan tersebut, berikut ini dikemukakan periodisasi sastra menurut
H.B. Jassin. H.B.Jassin mengelompokkan sastra Indonesia atas dua
periode, yaitu:
1. periode sastra Melayu Lama
2. periode sastra Indonesia Modern. yang terdiri atas empat angkatan, yaitu:
a. Angkatan Balai Pustaka;
b. Angkatan Pujangga Baru;
c. Angkatan 45;
d. Angkatan 66 ;
A. Sastra Melayu Lama
Sastra
Melayu lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad ke- 20 dengan
ciri-cirinya, antara lain: masih menggunakan bahasa Melayu, umumnya
bersifat anonim, bersifat istanasentris, dan menceritakan hal-hal berbau
mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dan sebagainya.
Sastra
pada masa Sastra Melayu Lama contohnya: dongeng tentang arwah,
hantu/setan, keajaiban alam, dan binatang jadi-jadian. Berbagai macam
hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma., Syair Perahu dan Syair Si Burung Pungguk oleh Hamzah Fansuri dan Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji.
B. Sastra Indonesia Modern
a. Angkatan Balai Pustaka
Angkatan
Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20an atau Angkatan Siti
Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun
ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan bahasa Indonesia
yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat
persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi
sastra daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan
Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu
roman yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya.
Berikut ini dapat kita pelajari bersama sinopsis Roman Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya adalah
roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang
pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan
Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti
Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian. Dengan licik ia beserta
kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda Sulaiman, ayah
Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda
Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahi Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak rela ayahnya dipenjara.
Samsul
Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi
gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan
Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat
Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan Datuk Maringgih. Akhir
cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka
dimakamkan di Gunung Padang.
Melalui
cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih
terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya
berasal dari keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya
setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan
perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada
suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan
adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan
dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat.
Berikut
ini contoh lain karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu
berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).
b. Angkatan Pujangga Baru
Angkatan
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang
dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa
tersebut. Sensor dilakukan terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga
Baru adalah sastra intelektual dan nasionalistik. Ciri-ciri sastra pada
masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sudah menggunakan bahasa
Indonesia, menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan
intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang),
pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional,
menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme,
dan materialisme.
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang merupakan
kisah roman antara tiga muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti.
Berikut ini dapat kita pelajari Roman Layar Terkembang. Yusuf adalah
seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita. Maria
adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan
memandang kehidupan dengan penuh kebahagian. Tuti adalah guru dan juga
gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan
dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Dalam kisah Layar Terkembang,
Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu,
perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan
pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di
masyarakat. Selain itu, masalah yang datang harus dihadapi bukan
dihindari dengan mencari pelarian, seperti perkawinan yang digunakan
untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari
rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Di
sisi lain, pada Angkatan Pujangga Baru Amir Hamzah diberi gelar sebagai
Raja Penyair Pujangga Baru. Beliau diberi gelar tersebut karena mampu
menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia
yang sedang berkembang. Dengan susah payah beliau mampu menarik keluar
puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih
terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi dasar dari Indonesia yang
sedang dicitacitakan bersama.
c. Angkatan 45
Angkatan
45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat memprihatinkan dan serba
keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan dengan peperangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri
Angkatan 45 antara lain: terbuka, pengaruh unsur sastra asing lebih
luas, corak isi lebih realis, naturalis, dan individualisme sastrawan
lebih menonjol. Puisi yang dianggap maskot pembaharuan dalam sejarah
perpuisian di Indonesia adalah puisi yang berjudul Aku karya Chairil
Anwar. Dalam puisi tersebut, Chairil menggambarkan pandangan dan
semangat hidupnya yang menggebu-gebu, individualistis, dan revolusioner.
Berikut ini disajikan puisi Aku seutuhnya.
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)
Karya sastra pada masa Angkatan 45, antara lain: Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin), Deru Campur Debu (Chairil Anwar), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar) , Pembebasan Pertama (Amal Hamzah), Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo)
d. Angkatan 66
Angkatan 66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat
menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan yang
sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra
beraliran surealis, arus kesadaran, arketipe, absurd, dan lainnya.
Angkatan
ini lahir di antara anak-anak muda dalam barisan perjuangan. Angkatan
ini mendobrak kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin
yang salah urus. Para mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran
menuntut ditegakkannya keadilan dan kebenaran.
Ciri-ciri
sastra pada masa Angkatan 66 adalah: bercorak perjuangan antitirani,
protes politik, anti kezaliman dan kebatilan, bercorak membela keadilan,
mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan, berontak terhadap
ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila, berisi protes sosial dan
politik. Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra pada masa Angkatan
66 antara lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail).
Berikut ini disajikan puisi Taufik Ismail, yang mencerminkan keprihatinannya terhadap situasi negara di masa itu.
Depan Sekretaris Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Keluar jalanan
Kami semua menyanyi
Gugur Bunga
Perlahan-lahan
Prajurit ini
Membuka baretnya
Air mata tak tertahan
Di puncak gayatri
Menundukkan bendera
Di belakangnya segumpal awan
(Antologi Tirani)
ALIRAN DAN GENRE SASTRA
A. Aliran Sastra
Kata mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa
Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata
itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang
sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama
(Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang
maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation dan movements.
Aliran
sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup,
politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra.
Dengan kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa
pengarang dan objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme, dan (2) materialisme. Idealisme adalah
aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang dianut oleh
penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di alam ini
hanyalah merupakan bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga oleh
pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme.
Romantisisme adalah
aliran karya sastra yang sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek
yang dikemukakan tidak lagi asli, tetapi telah bertambah dengan unsur
perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan oleh minat pada alam dan
cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan alam, perhatian pada
kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam pikiran, tindakan,
serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap imajinasi
lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadangkadang
berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik idealisme, dan romantik realisme.
Romantik idealisme adalah
aliran kesusastraan yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke
dalam fantasi dan cita-cita. Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru
umumnya termasuk aliran ini. Sementara romantik realism mengutamakan
perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh: puisi-puisi Chairil Anwar
dan Asrul Sani).
Simbolik adalah
aliran yang muncul sebagai reaksi atas realisme dan naturalisme.
Pengarang berupaya menampilkan pengalaman batin secara simbolik. Dunia
yang secara indrawi dapat kita cerap menunjukkan suatu dunia rohani yang
tersembunyi di belakang dunia indrawi. Aliran ini selalu menggunakan
simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku dalam cerita.
Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah Negara Kambing karya Alex Leo.
Mistisisme adalah
aliran kesusastraan yang bersifat melukiskan hubungan manusia dengan
Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan keharuan dan kekaguman si penulis
terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh karya sastra yang beraliran ini
adalah sebagaian besar karya Amir Hamzah, Bahrum Rangkuti, dan
J.E.Tatengkeng.
Surealisme adalah
aliran karya sastra yang melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara
serentak. Karya sastra bercorak surealis umumnya susah dipahami karena
gaya pengucapannya yang melompat-lompat dan kadang terasa agak kacau.
Contoh karya sastra aliran ini misalnya Radio Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.
Materialisme berkeyakinan
bahwa segala sesuatu yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan
akal manusia. Dalam kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atasrealisme dan naturalisme.
Realisme adalah
aliran karya sastra yang berusaha menggambarkan/memaparkan/menceritakan
sesuatu sebagaimana kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif
memandang segala sesuatu (tanpa mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana
kita tahu, Plato dalam teori mimetiknya pernah menyatakan bahwa sastra
adalah tiruan kenyataan/ realitas. Berangkat dari inilah kemudian
berkembang aliran-aliran, seperti: naturalisme, dan determinisme.
Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
Naturalisme adalah
aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur
bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Aliran ini berkembang
dari realisme. Ada tiga paham yang berkembang dari aliran realisme (1)
saintisme (hanya sains yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar),
(2) positivisme ( menolak metafisika, hanya pancaindra kita berpijak
pada kenyataan), dan (3) determinisme (segala sesuatu sudah ditentukan
oleh sebab musabab tertentu).
Impresionisme adalah
aliran kesusastraan yang memusatkan perhatian pada apa yang terjadi
dalam batin tokoh utama. Impresionisme lebih mengutamakan pemberian
kesan/pengaruh kepada perasaan daripada kenyataan atau keadaan yang
sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga Baru memperlihatkan
impresionisme dalam beberapa karyanya.
B. Genre Sastra
Karya
sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan
drama. Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk
fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun
bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam
segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk
sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula
komponenkomponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini
dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
1. Puisi
Puisi
adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat
pengalaman yang disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang
terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah diberi makna
dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan
kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran
kata-kata dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi:
makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya.
Sebagai alat, katakata dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan
yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi harus
pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair
untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah
kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah ini
menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau
menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini
haruslah mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari
segi bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi
terikat dapat dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh
masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai
muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang
dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat
mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap
sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola
estetika yang kaku atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa
penyair. Dengan demikian, nilai puisi modern dapat dilihat pada
keutuhan, keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada
jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai
sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu
ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk
komunikasi dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai
bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara
langsung, (2) pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena
pemahaman pesan tidak terjadi secara otomatis, dan (3) berbeda dengan
komunikasi lisan, karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh
konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk
mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak,
dalam arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini
bisa terjadi apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem
tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian
komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala
komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi
bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4)
fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu
pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun
kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap
yang kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam
pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca dapat menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat, tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis,
mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam
komunikasi juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal
ini berguna untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan
bentuk-bentuk hubungan tertentu. Contoh dari pernyataan di atas
misalnya, ketika kita membawa keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat
pertanyaan, Dari pasar? Kita tentunya hanya menjawab Ya! karena
ujaran tersebut hanya untuk menciptakan keakraban atau hubungan sosial
dan tidak mempunyai gagasan atau konsepsi apapun. Di dalam karya sastra
penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi
konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan
efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari
pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan Awas jalan licin mungkin
secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau
berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan
dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong
kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati pemahaman
yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur
makro keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem
tanda yang terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan
pembaca (penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen
mikro, yakni komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara
internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2)
katakata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan
kontak dengan pembacanya.
Unsur
keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi
yang juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi,
disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk
memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian
tersirat, dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang
digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam
kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang.
Dalam kesadaran batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang
disebut singa, harimau, atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun pengertian bahwa aku ini merupakan hewan harimau. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan binatang jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat
pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita
mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak
diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia.
Dengan begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki
empat, suka makan daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa
yang menggambarkan kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk
memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang
terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan
dihayati dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi
kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai
kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi dengan kenyataan
kehidupan sehari-hari.
2. Prosa
Prosa
merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya
yang bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud
alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk
ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh
pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang sering
disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita
pendek, novelet, dan novel.
Sebagai
cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang,
isi cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan
antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c)
latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa,
yang semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang
utuh.
Pembagian
bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen,
novel, dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis
dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan
perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan
perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan
tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang
pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun, sekarang ini
istilah roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen
biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit),
dan mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen
jarang dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam
cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter
tokoh langsung ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi,
atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang
waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari, seminggu,
sebulan, atau setahun.
Novel
memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen.
Novel memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya
dalam rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang
bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan
kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan memungkinkan adanya
penyajian secara panjang lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah
sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi tema-tema novel umumnya
jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen.
Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis
sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi
hubungan antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia
dengan masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh
tidak statis, tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan
keleluasaan juga membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering
menjadi bumbu cerita.
Demikianlah
sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur
yang mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim
disebut dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu
sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan
gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka dan
isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi,
politik, agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu
yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut
tetap penting untuk diketahui karena akan membantu pemahaman makna karya
sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir dari kekosongan
budaya.
3. Drama
Pada
dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan
itu berkaitan dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya.
Namun, ada perbedaan esensial yang membedakan antara karya drama dan
karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah
drama adalah untuk dipentaskan. Semi (1988) menyatakan bahwa drama
adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan.
Jika
dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni
aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon
atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra,
(2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun
khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada
itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek
pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi,
dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.
PUISI
A. Pengertian Puisi
Secara etimologi kata puisi berasal dari bahasa Yunani poema yang berarti membuat, poesis yang berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi disebut maker.
Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena
memang pada dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka seorang penyair
telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir
maupun batin (Tjahyono, 1988: 50).
Sulit
membuat batasan yang memuaskan terhadap pengertian puisi. Namun
demikian perlu diterangkan beberapa definisi atau pendapat dari beberapa
ahli sastra tentang puisi, untuk memperluas pandangan mengenai
pengertian puisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian puisi
adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta
penyusunan lirik dan bait (Depdikbud, 1988: 706).
HB.
Jassin (1991: 40) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan perasaan.
Seperti diketahui selain penekanan unsur perasaan, puisi juga merupakan
penghayatan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya di mana puisi
itu diciptakan tidak terlepas dari proses berfikir penyair. Bahkan
aktivitas berfikir dalam puisi merupakan keterlibatan yang sangat
tinggi, seperti yang diungkapkan Matheew Arnold yang
dikutip Situmorang : Poetry is the highly organized form of intellectual
activity (Situmorang, 1983: 7). Lebih lanjut Matheew Arnold mengatakan
puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif, dan yang
paling efektif mendendangkan sesuatu. Demikian pula yang dinyatakan oleh
John Dryen, puisi adalah musik yang tersusun rapi. Puisi adalah nada
yang penuh keaslian dan keselarasan menurut Isaac Newton (Situmorang, 1991:
8 9). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan puisi merupakan
ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991 : 23 )
Selain
unsur musikal, puisi juga merupakan ekspresi pikiran dan ekspresi
perasaan yang bersifat imajinatif. Hal-hal seperti yang dinyatakan para
ahli yang dikutip H.G Tarigan dalam bukunya Prinsip-Prinsip Dasar Sastra
sebagai berikut: (a) Samuel Johnson : puisi adalah seni pemaduan
kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai
pembantu akal pikiran, (b) William Wordsworth : puisi adalah luapan
spontan dari perasaan yang penuh daya, memperoleh rasanya dari emosi
atau rasa yang dikumpulkan kembali ke dalam kedamaian, (c) Lord Byron :
Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah adanya
gempa bumi, (d) Lescelles Abercrombie : Puisi adalah ekspresi dari
pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan
atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan
bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa puisi adalah
bentuk karangan kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan
mengekspresikan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam
susunan yang berirama secara imajinatif, dengan menggunakan unsur
musikal yang rapi, padu dan harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi
puisi adalah cara yang paling indah, impresif dan yang paling efektif
dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
B. Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Sebuah
puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun.
Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu karena tidak
dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan unsur yang
lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam
kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo,
1991 : 25).
Puisi
terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin
(Waluyo, 1991 : 29). Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang
saling mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas makna
yang utuh.
Struktur
batin puisi terdiri atas : tema, nada, perasaan, dan amanat. Sedangkan
struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata kongkrit,
majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas terdiri atas lambang dan
kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima, ritma dan metrum
(Waluyo, 1991 : 28 )
Dari uraian di atas dapat disimpulkan unsur yang membangun puisi terdiri
dari dua struktur yaitu unsur fisik dan struktur batin. Struktur fisik
terdiri atas diksi, imaji, kata kongkrit, majas, verifikasi, dan
tipografi. Struktur batin terdiri dari tema, perasaan, nada, suasana dan amanat.
1. Struktur Fisik Puisi
Struktur
fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar (Waluyo, 1991:71).
Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang
dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat.
Berikut
ini akan dibahas struktur fisik puisi yang meliputi : diksi, imajinasi,
kata konkret, majas, verifikasi, majas dan tipografi.
a. Diksi (Pilihan Kata)
Dalam
menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang hendak
disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan
perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami
hatinya. Selain itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi
yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih
kata-kata yang setepat-tepatnya. Penyair juga ingin mempertimbangkan
perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair
harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus
dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama serta
kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata
dalam keseluruhan puisi itu. Selain itu penyair juga mempertimbangkan
urutan katanya dan kekuatan daya magis kata-kata diberi makna baru dan
yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Karena begitu
pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan
secara cermat dalam pemilihannya (Waluyo, 1991:72)
Kalau
dipandang sepintas lalu kata-kata yang dipergunakan dalam puisi pada
umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Secara kalamiah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi dan
dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama. Bahkan bunyi
ucapanpun tidak ada bedanya (Tarigan, 1988:29)
Namun
tidak demikian adanya penyair menggunakan bahasa yang berbeda bahasa
sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapat
melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup
dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum
cukup bila hanya mengemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair
adalah supaya siapa saja yang membaca puisinya dapat turut merasakan dan
mengalami seperti apa yang dialami dan dirasakan penyair dalam puisinya
(Pradopo, 1980:49)
Pilihan
kata berguna untuk membedakan nuansa makna dan gagasan yang ingin
disampaikan dan menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai
rasa sebuah puisi. Dengan memilih kata yang tepat berarti memfungsikan
kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada
imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan dan dirasakan penulis pada
saat menciptakan puisinya (Keraf, 1984:87)
Dalam
memilih kata-kata yang tepat dan untuk menimbulkan makna serta gambaran
yang jelas penyair harus mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata
(Pradopo, 1990:58). Hal ini disebabkan karena penyair berbeda dari
penyair dari penyair lainnya (karya sastra lainnya) (Situmorang,
1981:27).
Dalam
menentukan pilihan kata yang tepat sering terjadi pergumulan dalam diri
penyair, bagaimana ia memilih kata-kata yang tepat, yang mengandung
arti sesuai dengan maksud puisinya baik dalam arti denotatif maupun
konotatif seperti dikatakan di atas. Hal ini dilakukan
untuk menimbulkan gambaran yang jelas pada imajinasi pembacanya maupun
pada makna puisinya (Situmorang, 1983:19).
Seperti
dikatakan di atas puisi memiliki makna masing-masing. Namun secar umum
makna kata dalam puisi digolongkan menjadi dua makna; konotasi dan
denotasi. Makna denotasi artinya makna yang menunjuk pada arti
sebenarnya dalam kamus, sedangkan makna denotasi artinya kata yang
memiliki kemungkinan makna lebih dari satu (Waluyo, 1991: 73). Namun
dalam puisi (karya sastra) sebuah kata tidak hanya mengandung makna
denotasi saja (Pradopo, 1990:59). Hendaknya disadari bahwa kata dalam
puisi lebih bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang
lebih dari satu. Kata-kata dalam puisi dipilih dengan mempertimbangkan
berbagai aspek estetis dan juga puitis artinya mempunyai efek keindahan
yang berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.
Maka
kata-kata yang dipilih penyair bersifat absolut dan tidak bisa diganti.
Jika diganti akan mengganggu kompisisi dan daya magis dari puisi itu
sendiri (Waluyo, 1991: 73)
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang
tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana yang diusahakan
secermat dan seteliti mungkin, dengan mempertimbangkan arti
sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna konotatif, sehingga
mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya.
Jadi
diksi selain penting juga merupakan sebagian dari ciri khas seorang
penyair. Karena di antara penyair yang satu dengan penyair yang lain
berbeda dalam pemilihan diksi. Maka jelaslah bahwa diksi itu sudah
menjadi satu dengan penyairnya. Sehingga penggunaan diksi dalam puisi
kita seakan bisa mengenal orangnya (penyairnya) atau namanya. Kecakapan
seorang penyair menggunakan diksi akan membangkitkan imaji pada
pembacanya (Situmorang, 1983:19).
b. Pengimajian (Imaji)
Semua
penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialaminya
kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi
keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata
dalam puisinya (Tarigan, 1984:30). Ada hubungan yang erat antara
pemilihan kata-kata, pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang
dipilih harus menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih
konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau
cita rasa. Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan
kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti
penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo, 1991: 97).
Pilihan
serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta
memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut dapat
mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran
yang nyata. Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani
sang penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat
sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami
peristiwa jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30).
Dalam
karyanya, sang penyair berusaha sekuat tenaga dan sekuat daya dengan
pilihan kata dan jalinan kata agar pembacanya dapat melihat, merasakan,
mendengar seperti apa yang dilukiskan penyair melalui fantasinya
(imajinya). Dengan jalan demikian penyair dapat menarik perhatian
pembaca bahkan bisa meyakinkannya terhadap realitas dari segala sesuatu
yang digambarkannya itu (Situmorang, 183: 20).
Imaji
bisa muncul pada diri seseorang, apabila seseorang itu mau memikirkan
dan mengimajinasikan sesuatu yang dibacanya melalui perasaan. Sebab
semua manusia mengalami dan melihat apa yang ada di dunia ini melalui
perasaannya. Jika
kita pergi ke tepi pantai, kita melihat air laut dan pasir putih. Kita
merasakan asinnya air garam. Kita merasakan panasnya matahari di kepala
kita dan pasir panas di telapak kaki kita. Kita mendengar deburan ombak,
kita dapat merasakan dinginnya, asinnya air laut. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa kita menikmati semuanya itu melalui pengalaman yang ada
pada rasa kita. Jika kita kehilangan atau kekurangan rasa itu, semua hal
di atas tidak akan dapat kita rasakan dan nikmati (Situmorang, 1981:
87).
Demikian
pula halnya dengan penyair pada saat menciptakan puisi. Dengan
serangkaian kata penyair berusaha memunculkan daya imajinasi dalam
puisinya sehingga pembaca dapat memunculkan apa yang
disampaikan penyair dalam puisinya ke dalam pikirannya dengan perasaan.
Segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa
dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau pengimajian
(Tarigan, 1984:30). Bila seseorang membaca sebuah puisi yang melukiskan
indahnya suasana pantai di pagi hari dan di saat senja datang. Maka yang
muncul dalam imajinasi kita adalah ombang yang saling berkejaran, angin
yang berhembus sejuk, kerlip-kerlip pasir pantai yang terkena sinar
matahari menambah indahnya suasana pantai. Tidak terasa panorama pantai
berubah menjadi senja. Sementara matahari tak bosannya menyengat kulit
sampai hitam legam. Imajinasi ini muncul karena kita menggunakan
perasaan. Tanpa
perasaan semua hal di atas tidak akan dapat kita rasakan. Pengimajian
ditandai dengan penggunaan kata kongkrit yang khas (Waluyo, 1991:79)
Effendi
menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha
penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri
pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk
melihat benda-benda, warna, dengan kelingan hati untuk melihat
benda-benda, warna dengan teling hati mendengar bunyi-bunyian, dan
dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan
warna (Waluyo, 1991: 81).
Hal
yang dilukiskan dalam imaji dapat kita hayati secara nyata selama kita
sungguh-sungguh membaca dan memahami isi dan makna sebuah puisi (Waluyo,
1991: 79). Rahmat Djoko Pradopo menyatakan imaji adalah gambaran
pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (1990: 79).
Berdasarkan
uraian dan pendapat di atas dapat disimpulkan pengimajian adalah
susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris di mana
pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan seperti apa yang
dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam puisinya secara
imajinatif melalui pengalaman dan rasa kita.
Dalam
puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran angan) yang dihasilkan oleh
indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman, pemikiran
dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya terdapat juga imaji
penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991: 79). Semua imaji di atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan dikenal beberapa macam imajinasi, yaitu :
1) Imajinasi Visuil,
yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat
sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
2) Imajinasi Auditory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri
apa yang dikemukakan penyair. Suara dan bunyi yang dipergunakan tepat
sekali untuk melukiskan hal yang dikemukakan, hal ini sering menggunakan
kata-kata onomatope.
3) Imajinasi Articulatory,
yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi
dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita
membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut
membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya
4) Imajinasi Olfaktory,
yakni imajinasi penciuman atau pembawaan dengan membaca atau mendengar
kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu. Kita seperti
mencium bau rumput yang sedang dibakar, kita seperti mencium bau tanah
yang baru dicangkul, kita seperti mencium bau bunga mawar, kita seperti
mencium bau apel yang sedap dan sebagainya.
5) Imajinasi Gustatory, yakni imajinasi pencicipan. Dengan
membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita
seperti mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam
dan sebagainya.
6) Imajinasi Faktual,
yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di
bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh
tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
7) Imajinasi Kinaestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8) Imajinasi Organik,
yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau
merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual,
pusing dan sebagainya.
Imaji-imaji
di atas tidak dipergunakan secara terpisah oleh penyair melainkan
dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah
kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).
c. Kata Konkret
Untuk
membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus
diperkonkret. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat mengarah pada
arti secara keseluruhan. Seperti halnya pengimajian, kata yang
diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang.
Jika seorang penyair mahir dalam memperkonkret kata-kata, maka pembaca
seolah dapat melihat, mendengar, atau merasa seperti apa yang dilukiskan
oleh penyair (Waluyo, 1991: 81).
Sedangkan
yang dimaksud dengan kata konkret sendiri ialah kata-kata yang jika
dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif tidak sama karena
disesuaikan dengan kondisi dan situasi pemakainya. Misalnya pemakaian kata-kata
senja, senyap, camar, bakau, teluk benang raja dalam sajak Amir Hamzah
dalam Berdiri Aku benar-benar merupakan kata yang sesuai untuk mendukung
makna dari puisinya (Situmorang, 1983: 20).
Dengan
kata yang diperkonkret makin memperjelas gagasan penyair dengan begitu
pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, perasaan, keadaan
yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya. Misalnya puisi yang
berjudul : Gadis Peminta-minta. Untuk melukiskan gadis itu benar-benar
seorang pengemis, gembel maka penyair menggunakan kata-kata gadis kecil
berkaleng kecil lukisan itu lebih konkret dari pada gadis peminta
ataupun gadis miskin begitu saja.
Jadi
yang dimaksud konkret adalah kata yang dapat menyarankan kepada arti
yang menyeluruh, dengan demikian pembaca dapat membayangkan secara jelas
peristiwa, keadaan, maupun sesuatu yang digambarkan penyair sehingga
pembaca dapat memahami arti puisi.
d. Bahasa Figuratif
Penyair
menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut
bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis
artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif
adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu
dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengunkapkan
makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo,
1991: 83).
Bahasa
kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna
dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong pembaca merasakan
dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulis.
Seperti yang diungkapkan Rahmad Djoko Pradopo bahwa kias dapat
menciptakan gambaran angan/ citraan (imagery) dalam diri
pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair
terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah
otak yang bersangkutan (1990: 80).
Bahasa
figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan
penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan
imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk menghasilkan imaji
tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan
menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara
menambah intensitas, (4) Bahasa Figuratif adalah cara untuk
mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan
sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991:
83).
Untuk
memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus menafsirkan kiasan dan
lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional. Menurut uraian di
atas bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk
membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya bahasa,
gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas
makna atau lukisan yang hendak dikemukakan penyair melalui puisinya.
Bahasa kias yang biasa terdapat dalam puisi :
1) Perbandingan/ perumpamaan (simile)
Perbandingan
atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal
dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti
bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.
2) Metafora
Bahasa
kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata
pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora melihat
sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978: 317). Metafora
ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga denan yang
lain yang sesungguhnya tidak sama.
3) Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda mati
dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia
dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai sekarang. Personifikasi
membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan
beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.
4) Hiperbola
Kiasan
yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang
dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari
pembaca.
5) Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia
ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa
ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah obyek atau penggunaan
sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti obyek tersebut.
6) Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78).
7) Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi :
a) Lambang warna
b) Lambang benda : penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
c) Lambang bunyi : bunyi yang diciptakan penyair untuk melambangkan perasaan tertentu.
d) Lambang suasana : suasana yang dilambangkan dengan suasana lain yang lebih konkret.
e. Versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima, ritma dan metrum.
1) Rima
Rima
adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau
orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai antara lain :
a) Menurut bunyinya :
1) Rima sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya
2) Rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya
3) Rima mutlak bila seluruh bunyi kata itu sama
4) Asonansi perulangan bunyi vokal dalam satu kata
5) Aliterasi : perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan
6) Pisonansi (rima rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama, namun
vokalnya berbeda.
b) Menurut letaknya :
1) Rima depan : bila kata pada permulaan baris sama
2) Rima tengah : bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama
3) Rima akhir bila perulangan kata terletak pada akhir baris
4) Rima tegak bila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris
berikutnya.
5) Rima datar bila perulangan itu terdapat pada satu baris.
c) Menurut letaknya dalam bait puisi :
1) Rima berangkai dengan pola aabb, ccdd.
2) Rima berselang dengan pola abab, cdef
3) Rima berpeluk dengan pola abba, cddc..
4) Rima terus dengan pola aaaa, bbbb..
5) Rima patah dengan pola abaa, bcbb
6) Rima bebas : rima yang tidak mengikuti pola persajakan yang disebut sebelumnya (Waluyo, 1991: 93).
7) Efoni
kombinasi bunyi yang merdu dan indah untuk menggambarkan perasaan
mesra, kasih sayang, cinta dan hal-hal yang menggembirakan.
8) Kakafoni
kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau dan tidak cocok untuk
memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau, serba tak teratur,
bahkan memuakkan.
2) Ritma
Pertentangan
bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan
teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Waluyo,
1991:94). Ritma terdiri dari tiga macam, yaitu :
1) Andante : Kata yang terdiri dari dua vokal, yang menimbulkan irama lambat
2) Alegro : Kata bervokal tiga, menimbulkan irama sedang
3) Motto Alegro : kata yang bervokal empat yang menyebabkan irama cepat.
3) Metrum
Perulangan
kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991:94). Nama metrum didapati
dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah irama
yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo,
1990: 40). Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan
deklamasi. Ada bermacam tanda yang biasa diberikan pada tiap kata. Untuk
tekanan keras ditandai dengan ( / ) di atas suku kata yang dimaksudkan,
sedangkan tekanan lemah diberi tanda ( U ) di atas suku katanya.
f. Tipografi
Salah
satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain pada bentuk
tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa puisi
tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik
itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan
demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf
saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari
tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya.
Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi puisi
merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya
bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya
bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan
sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.
2. Struktur Batin Puisi
Struktur
batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran perasaan yang
diungkapkan penyair (Waluyo, 1987: 47). Struktur batin puisi merupakan
wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya
dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan.
Tanpa
penghayatan unsur-unsur puisi yang membangun dari dalam, mustahil dapat
memahami puisi secara benar. Struktur batin puisi merupakan isi/ makna
yang sesungguhnya ingin diekspresikan penyair melalui puisinya. karena
struktur batin itu merupakan sesuatu yang tersirat di balik yang
tersurat, maka pembaca harus terlibat secara mendalam, baik fisik,
mental maupun pikiran untuk mengetahui atau memahami hakekat makna
sebuah puisi yang sesungguhnya.
Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991: 180-181). Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
a. Tema
Seorang
penyair dalam menciptakan puisi selalu mempunyai keinginan dan tujuan.
Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui
puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair, penyair ingin
agar apa yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami dan
pembaca tidak mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan
puisinya. Sedangkan tujuan berhubungan langsung dengan pembaca, penyair
berharap setelah membaca dan memahami isi serta pesan moral dalam
puisinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang hidup
dan kehidupan.
Jika
kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya berhadapan dengan unsur
kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga
merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak
diucapkan oleh penyair. Setiap puisi mengandung suatu
pokok persoalan (subject matter) yang hendak dikemukakan (Situmorang,
1983:12). Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang
dikemukakan penyair (Waluyo, 1991:106). Jadi jelas bahwa dengan
puisinya penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi pembaca melalui
puisinya. Sang penyair melihat, mengalami beberapa kejadian dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan,
mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Atau dengan kata
lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para
pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1985: 10). Pokok
pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair
sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat
itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema
ketuhanan. Jika
desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi
bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongann untuk memproses
ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial.
Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema
cinta atau tema kedukaan hati karena cinta (Waluyo, 1991: 106-107).
Jadi
tidak ada puisi yang tidak mempunyai sesuatu yang hendak
dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat lihai menutup-nutupi atau
menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata sehingga pembaca harus
bekerja keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi pasti ada sesuatu
yang hendak dikemukakannya. Inilah yang disebut sense (Situmorang, 1983: 12).
Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain falsafah
hidup, lingkungan, agama, pekerjaan dan pendidikan. (1985: 10). Hal ini
didukung oleh pendapat Herman J. Waluyo yang mengatakan bahwa tema
puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang
terimajinasikan (Waluyo, 1991: 106-107).
Sebuah
puisi bisa menyenangkan karena bersifat menghibur, mengemukakan sesuatu
yang menarik atau mengagumkan, namun sebuah puisi tidak hanya bersifat
menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat yang berupa dorongan moral
atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat spiritual dan
rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kita
tidak akan dapat memahami tema dari sebuah puisi kalau hanya membaca
sekilas saja (Tjahyono, 1988:68). Karena penyair tidak langsung
membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam puisinya. dengan
membaca berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan menemukan isi
dari puisi itu kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk diri
sendiri maka itu tandanya penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca
mendapatkan kenikmatan dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983: 36).
Seorang
sastrawan akan merasa bangga apabila apa yang disampaikan dalam
puisinya dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh pembaca, serta
pembaca tidak mengalami kesulitan untuk menafsirkan (Sumardjo, 1982:13).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu yang digambarkan penyair
dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan yang hendak
dikemukakan penyair dalam puisinya disebut subject matter. Jadi tema membangun puisi secara umum dan subject matter membangun puisi secara khusus.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan tema adalah sesuatu yang
diciptakan atau digambarkan penyair melalui puisinya yang mengandung
suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan. Tema juga merupakan latar
belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat dipisahkan dari
pengarangnya.
Dengan
latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan
memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tafsir
puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991: 107). Berikut
ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
1) Tema Ke-Tuhanan
Puisi-puisi
bertema ke-Tuhanan biasanya akan menunjukkan religius experience atau
pengalaman religi penyair yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman
ke-Tuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman
iman seseorang terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan
atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991:107). Kedalaman rasa ke-Tuhanan itu
tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata,
ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat
hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair
ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991:108).
2) Tema Kemanusiaan
Tema
kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan
bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat dan
martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang
tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap
kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991:112)
3) Tema Patriotisme / Kebangsaan
Tema
patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta aka bangsa dan tanah air.
Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan
mengisahkan riwayat pahlawan yang berjuang merebut
kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan
dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangssa atau membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991:115)
4) Tema Kedaulatan Rakyat
Penyair
begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan
menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa, didapati dalam
puisi protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan nasib si
miskin. Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi,
namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
5) Tema Keadilan Sosial
Nada
protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial
dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan
sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk
mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan
diperjuangkan.
b. Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling)
merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya.
Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan
ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena
dalam menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan
harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991:121).
Hal
ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan
pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok yang diekspresikan.
Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan, kasihan, simpati,
acuh tak acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya (Tjahyono,
1988:71).
Jadi perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yang merupakan gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.
c. Nada dan Suasana
1) Nada
adalah sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan pokok persoalan
yang dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono, 1988:71). Hal ini seperti
dikemukakan Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para
penikmatnya (Tarigan, 1985: 13).
2) Dalam
menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada
pembacanya, apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh, membodohkan,
rendah hati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan
sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1991:125).
3) Nada dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang tersurat, yaitu bahasa/ ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam puisi.
4) Nada
berhubungan dengan suasana, karena nada menimbulkan suasana tertentu
pada pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca)
setelah membaca puisi, atyau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi
terhadap pembaca (Waluyo, 1991:71). Misalnya : puisi yang bernada duka
menimbulkan suasana iba hati pada pembaca, nada khusuk dapat menimbulkan
suasana khusuk.
d. Amanat
Penyair
sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau tidak
merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati
nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat
(pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan
amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik
tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991:130). Amanat adalah maksud
yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak
disampaikan penyair melalui puisinya.
C. Pembelajaran Apresiasi Puisi
Pembelajaran
apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa, dan
drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi
sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1)
Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada
budaya bangsa. (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan
pengayaan daya estetis melalui bahasa. (3) Pembelajaran apresiasi sastra
bukan pelajaran sejarah, aliran, dan teori sastra. (4) Pembelajaran
apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di
dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam
dunia nyata.
Pembelajaran
apresiasi puisi dapat dilakukan dengan memadukannya dengan empat aspek
keterampilan berbahasa, yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, baik prosa, puisi, maupun
drama, siswa tidak hanya sekadar sebagai penikmat hasil sastra (pembaca
atau pendengar) saja namun siswa juga dituntut untuk kreatif menulis.
Pada
pembelajaran apresiasi puisi yang berkaitan dengan tujuan tersebut
dapat dilakukan dengan cara membaca, mendeklamasikan, menciptakan puisi,
dan mendiskusikan tema, keindahan bahasa, serta hal-hal yang menarik
dari puisi tersebut. Kegiatan yang dilakukan siswa antara lain berikut
ini:
(1) Puisi
yang telah disiapkan guru (dapat juga yang telah ditulis oleh siswa)
dibaca oleh siswa atau dideklamasikan siswa. Setelah siswa
membaca/mendeklamasikan puisi tentu siswa memperoleh pengalaman tentang
isi, bahasa, dan gaya bahasa yang digunakan.
(2) Puisi
yang telah dibaca didiskusikan dari berbagai segi yang menarik untuk
didiskusikan. Misalnya: wujudnya, sudut penuturan, pokok yang
diungkapkan, sudut pandang, perasaan yang terlibat di dalamnya, amanat,
tema, dan sebagainya. Tentang wujud puisi, dibahas antara lain: bait,
larik, dan sajak. Tentang sudut penuturan, misalnya: dibahas siapa yang
bertutur dan kepada siapa dia bertutur, serta bagaimana nada
penuturannya. Tentang pokok yang diungkapkan, dibahas hal-hal apa yang
dikisahkan, digambarkan, atau didialogkan. Tentang perasaan, dibicarakan
tentang perasaan yang terlibat di dalamnya, misalnya: sedih, gembira,
rindu, benci, dan tertekan. Tentang amanat, dibicarakan tentang apa yang
ingin dibicarakan penyair melalui puisi tersebut, juga apakah amanat
dalam puisi tersebut tersirat ataukah tersurat.
(3) Setelah
dilakukan pembahasan puisi tersebut dibaca lagi, dinikmati lagi secara
utuh. Dengan demikian diharapkan pemahaman yang lebih tinggi lagi serta
pemahaman yang lebih jelas tentang puisi yang akan dibaca.
(4) Hasil
pembahasan puisi itu dihubungkan pula dengan kehidupan masingmasing
siswa sehingga puisi menjadi lebih bermakna dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
Demikian
kemungkinan penyajian bahan pengajaran puisi di sekolah. Untuk
pencapaian penulisan kreatif, dapat juga dilakukan kegiatan menulis
puisi yang sesuai dengan tema yang ditentukan atau dipilih siswa. Untuk
menulis puisi bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi perlu motivasi yang
tinggi oleh guru untuk membangkitkan semangat menulis puisi. Puisi yang
mereka tulis dapat dipajang di majalah dinding atau majalah sekolah.
Kebermaknaan
sebuah puisi dapat dilakukan dengan memadukan bidang seni lain.
Misalnya, teknik yang dapat dilakukan guru di sekolah adalah
musikalisasi puisi, yaitu perpaduan antara seni musik dan seni sastra di
kalangan siswa. Untuk musikalisasi puisi ini diperlukan alat-alat musik
yang dikuasai siswa. Keterpaduan lain yang dapat dilakukan adalah
keterpaduan antara seni lukis dengan puisi. Sebuah lukisan bunga,
misalnya, dapat ditulis dengan sebuah puisi yang berkaitan dengan bunga
tersebut sehingga ekspresi kedua bidang seni lebih terasa.
D. Ekspresi Puisi
1. Menulis Puisi
Ekspresi
tulis puisi adalah segala kegiatan yang memungkinkan kita mendapatkan
pengalaman artistik dalam menulis puisi. Pada saat Anda menemukan
peristiwa yang luar biasa, misalnya jatuhnya pesawat terbang, gerhana
matahari total, atau gelapnya siang hari karena letusan sebuah gunung
berapi, perasaan apa yang ingin Anda ungkapkan? Apabila Anda mendapatkan
hadiah undian ratusan juta rupiah atau bertemu dengan saudara yang
telah beberapa tahun menghilang, perasaan apa yang akan Anda luapkan?
Sedih, gembira, bahagia, atau campuran dari semuanya? Pengalaman
tersebut merupakan bahan berharga apabila diekspresikan melalui puisi.
Barangkali
kita tidak dengan sengaja menulisnya sebagai puisi karena hanya
menuangkannya, misalnya, ke dalam buku harian. Cobalah buka kembali buku
harian Anda. Mungkin Anda akan terkejut karena di sana Anda telah
menguntai kata dan kalimat secara emotif. Hal itu tidak saja karena Anda
telah mengekspresikan diri Anda sendiri, namun kondisi manusia sebagai homo ludens makhluk bermain dan homo fabulans makhluk bersastra mendorong kita untuk melakukan semua itu.
Apabila
kegiatan menulis buku harian itu kita lakukan sebagai pengisi waktu
luang, kini kita akan mencoba berekspresi secara khusus, yaitu dengan
menulis puisi lama dan modern. Kegiatan ini, meskipun khusus menulis
puisi, hendaknya jangan dianggap terlalu serius. Yang penting adalah
mengembangkan imajinasi dan emosi kreatif kita dengan sarana puisi yang
sudah kita kenal, yaitu puisi lama dan puisi modern.
a. Menulis Puisi Lama
Puisi
lama merupakan puisi yang terikat oleh syarat-syarat, seperti jumlah
larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima
dan irama, serta muatan setiap bait. Silakan Anda perhatikan puisi
lama berikut:
dari mana datangnya lintah
dari sawah turun ke kali
dari mana datangnya cinta
dari mata turun ke hati.
Puisi
di atas adalah salah satu bait puisi lama dalam bentuk pantun. Apabila
Anda akan menulis puisi lama dengan bentuk demikian, syaratsyarat yang
harus Anda patuhi adalah jumlah larik dalam setiap baitnya harus
berjumlah empat, jumlah suku kata dalam setiap lariknya harus antara
delapan dan dua belas, rimanya mesti berpola a-b-a-b (larik
ke-1 dan larik ke-3 mesti sama, demikian juga larik ke-2 dan larik
ke-4), dan dua larik pertama mesti memuat sampiran, sedangkan dua larik
terakhir mesti memuat isi, makna, amanat, atau pesan pantun.
Penyebutan
puisi lama disebabkan adanya fenomena puisi setelahnya yang dianggap
baru. Namun, yang lebih perlu Anda pahami adalah bahwa puisi lama
merupakan pancaran masyarakat lama atau warisan budaya nenek moyang kita
yang masih hidup dalam tradisi lisan. Karena tradisi ini menuntut orang
mengingat dan menghafal, maka wajar saja jika dalam puisi lama
terkandung syarat-syarat tertentu. Di sisi lain, syarat-syarat tersebut
karena dijadikan sarana dalam berekspresi secara berulang-ulang, maka
jadilah formula atau kaidah tetap yang menjadi ciri setiap bentuk puisi.
Bentuk lainnya yang juga termasuk puisi lama adalah bidal, gazal,
gurindam, mantra, masnawi, nazam, kithah, rubai, seloka, syair, talibun,
dan teromba.
Meskipun
bentuk puisi lama cukup banyak, kita akan menekuninya sebagian saja,
terutama yang masih memengaruhi penulisan puisi modern, yaitu pantun,
syair, dan mantra.
(1) Pantun
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pantun merupakan ragam puisi lama. Baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap
larik biasanya terdiri atas empat kata atau delapan sampai dengan 12
suku kata dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu merupakan
kiasan atau sampiran, sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat
dalam larik ketiga dan keempat. Berdasarkan struktur dan persyaratannya,
pantun dapat terbagi ke dalam pantun biasa, pantun kilat atau karmina,
dan pantun berkait.
Pantun
biasa adalah pantun seperti kita kenal lazimnya dan rincian
persyaratannya telah kita singgung di atas, namun dengan tambahan,
isinya berisi curahan perasaan, sindiran, nasihat, dan peribahasa.
Pantun biasa pun dapat selesai hanya dengan satu bait. Perhatikanlah
pantun berikut, yang termasuk pantun biasa dan cukup populer karena
dijadikan lirik sebuah lagu oleh Rhoma Irama:
Berakit-rakit ke hulu
berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian.
Pantun
kilat atau karmina memiliki syarat-syarat serupa dengan pantun biasa.
Perbedaan terjadi karena karmina sangat singkat, yaitu baitnya hanya
terdiri atas dua larik sehingga sampiran dan isi terletak pada larik
pertama dan kedua. Perhatikanlah beberapa karmina berikut:
Ada ubi ada talas,
Ada budi ada balas.
Anak ayam pulang ke kandang,
Jangan lupa akan sembahyang.
Satu dua tiga dan empat,
Siapa cepat tentu dapat.
Pantun
berkait, kadang-kadang juga disebut dengan pantun berantai, merupakan
pantun yang sambung-bersambung antara bait satu dan bait berikutnya.
Dengan catatan, larik kedua dan keempat setiap bait pantun akan muncul
kembali pada larik pertama dan ketiga pada bait berikutnya:
Tanam melati di rumah-rumah
ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
Ubur-ubur sampingan dua
Tanam melati bersusun bangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh besusun bangkai
Meskipun
pantun merupakan puisi lama, tidak ada yang akan melarang apabila kita
memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek
didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam mayarakat lampau kita
tidak terpisahkan di dalamnya. Contoh pantun di atas dapatlah dijadikan
sebagian bukti.
Apabila
kata-kata dalam contoh pantun tersebut dianggap terlalu arkais dan
kemelayu-melayuan, kita dapat menggantinya dengan bahasa yang kita
gunakan sehari-hari. Tentunya, semua kita lakukan dengan tetap mengikuti
formula dan syarat-syarat sebuah pantun. Misalnya, dalam acara hiburan
di salah satu televisi swasta, pantun yang bersifat humor telah menjadi
paket acara tersendiri. Dalam acara rekreasi ke tempat objek wisata,
ulang tahun, atau perpisahan, berbalas pantun melalui iringan gitar
dapat pula dijadikan kegiatan pelepas lelah dan media berkenalan. Dengan
pantun kita pun dapat memanfaatkan kelebihan dan kekurangan orang lain
atau diri sendiri sebagai bahan gelak tawa, lelucon, dan banyolan yang
dapat menyegarkan suasana. Di sela-sela kesibukan kuliah pun kita dapat
membuat pantun, seperti berikut ini:
silau lentera di dalam tenda
tikus sawah di atap bambu
walau usia masihlah muda
lulus ujian tetaplah perlu.
burung perkutut di atas galah
kayu cendana dibuat bangku
tuntut ilmu tiada lelah
jadi sarjana cita-citaku
Apabila
formula pantun di atas dianggap cukup panjang, kita dapat memanfaatkan
karmina sebagai alat pergaulan. Biasanya para remaja menuliskan catatan
tambahan dalam surat yang dituliskannya kepada
seorang teman dengan karmina berikut:
empat kali empat enam betas,
sempat tidak sempat harus dibalas.
Seorang ketua tingkat dapat pula menempelkan secarik kertas di papan
pengumuman dengan karmina berikut:
makan kupat disiram kuah,
jangan lupa kita kuliah.
(2) Syair
Syair
bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad
ke-13, seiring dengan masuknya agama Islam ke nusantara. Seperti halnya
pantun, syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya; setiap larik
terdiri atas empat kata atau antara delapan sampai dengan dua belas suku
kata. Akan tetapi, syair tidak pernah menggunakan sampiran. Dengan kata
lain, larik-larik yang terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut.
perbedaan pantun dan syair terletak juga pada pola rima. Apabila pantun
berpola a-b-a-b, maka syair berpola a-a-a-a.
Karena
bait syair terdiri atas isi semata, maka antara bait yang satu dan bait
lainnya biasanya terangkai sebuah cerita. Jadi, apabila orang akan
bercerita, syair adalah pilihan yang tepat. Cerita yang dikemas dalam
bentuk syair biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau
dapat juga rekaan semata dari pengarangnya. Syair yang cukup terkenal
yang merupakan khazanah sastra nusantara, misalnya Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Syair Bidasari, Syair Abdul Muluk, Syair Ken Tambunan, Syair Burung Pungguk, dan Syair Yatim Nestapa.
Marilah kita sejenak memperhatikan beberapa bait pengantar Syair Burung Pungguk:
Bismillah itu mulia dikata
Limpah rahmat terang cuaca
Berkat Mohammad penghulu kita
Ialah penghulu alam pendeta
Al rahman itu sifat yang sani
Maknanya murah amat mengasihani
Kepada mumin hati nurani
Di situlah tempat mengasihani
Al rahim itu pengasihan kita
Kepada Allah puji semata
Itulah Tuhan yang amat nyata
Memberi hambanya berkata-kata
Dengarkan tuan suatu rencana
Dikarang oleh dagang yang hina
Sajaknya janggal banyak tak kena
Dari pada akal belum sempurna
(3) Mantra
Mantra
adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama. Masyarakat zaman
dulu percaya bahwa mantra itu mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya
diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi
kekuatan gaib lainnya. Namun, hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang
diucapkan oleh seorang pawang dalam keadaan trance ‘kerasukan’. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang bersifat sugestif.
Karakteristik
mantra memang sangat unik. Karena keunikan itulah kita tidak dapat
membandingkan bentuknya dengan puisi yang telah kita singgung
sebelumnya, baik dengan pantun maupun syair. Terlebih-lebih, mantra
hanya dapat dilontarkan oleh orang yang dianggap telah memiliki
syarat-syarat tertentu. Namun, untuk kepentingan ekspresi, tidak ada
salahnya apabila kita mencoba untuk membuat mantra. Meskipun formula
mantra tidak sekaku pantun dan syair, kita perlu juga mengetahuinya
sehingga memudahkan kita untuk menyusunnya. Menurut Umar Junus
(1983:135), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut:
a. Di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah.
b. Mantra mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi.
c. Mantra menggunakan kesatuan pengucapan.
d. Mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui bagian-bagiannya.
e. Mantra merupakan sesuatu yang tidak dipahami oleh manusia karena merupakan sesuatu yang serius.
f. Dalam mantra terdapat kecenderungan esoteris (khusus) dari kata-katanya.
Sebagai contoh marilah kita perhatikan mantra berikut ini, yang biasa
diucapkan pawang ketika mengusir anjing galak.
Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gunung guntung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.
Kita
belajar untuk membuat mantra bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya
sebab anggapan seperti itu hanya terdapat dalam keyakinan dan
kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kita kini mempelajarinya sebagai
kegiatan kreatif dalam penulisan puisi. Terlebih-lebih puisi modern yang
akan kita bicarakan nanti masih memanfaatkan puisi lama, khususnya
pantun dan mantra, sebagai alat ucap puitiknya.
b. Menulis Puisi Modern
Puisi
modern dianggap berbeda dengan puisi lama sehingga ada yang menyebutnya
dengan “puisi baru”. Karena puisi modern tidak terikat lagi oleh
syarat-syarat seperti pantun, syair, dan mantra, maka ada juga orang
yang menyebutnya dengan “puisi bebas”. Selain itu puisi modern adalah
puisi yang ditulis kini dan ada di sekitar kita kini, maka ada juga yang
menyebutnya dengan “puisi mutakhir” dan “puisi kontemporer”.
Puisi
lama dengan puisi modern meskipun berbeda tidaklah bertolak belakang
sepenuhnya. Dalam pertumbuhan awal puisi modern kita masih dapat melihat
pengaruh puisi lama di dalamnya, seperti tampak dalam puisi Sanusi Pane
berikut:
DIBAWA GELOMBANG
Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad,
Dengan damai mereka meninjau,
Kehidupan bumi, yang kecil amat.
Aku bernyanyi dengan suara,
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun.
Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tdak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.
Puisi
di atas terdiri dari empat larik setiap baitnya, per larik lebih kurang
empat kata atau delapan sampai dengan dua belas suku kata dan berpola
rima akhir a-b-a-b. Apabila kita perhatikan selintas, puisi
tersebut sama dengan pantun. Namun, apabila kita telaah lebih lanjut
ternyata di dalamnya tidak terdapat sampiran. Apakah puisi ini berbentuk
syair? Syair memang tidak memiliki sampiran, akan tetapi rima akhirnya
mesti berpola a-a-a-a. Selain itu, isi puisi di atas bukanlah
cerita melainkan tumpahan rasa sebagai manusia yang tengah
terombang-ambing sendirian di atas perahu dan di laut lepas. Gambaran
manusia seperti itu tampaknya bukanlah khusus ditujukan kepada
pengarangnya sendiri melainkan untuk manusia pada umumnya. Dengan
demikian puisi ini memang menggambarkan manusia secara konkret, namun
justru untuk menunjukkan keadaannya yang abstrak. Dengan kata lain,
puisi ini menyimbolkan hidup manusia. Kecanggihan semacam ini tampaknya
tidak pernah terdapat dalam puisi lama, baik pantun maupun syair.
Di
samping itu ada juga penyair modern yang menunjukkan pembaharuan puisi
dengan sarana estetika puisi lama. Hal itu dapat dianggap sebagai ironi
atau kritik terhadap puisi lama, seperti tampak dalam puisi Rustam
Effendi berikut:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
musti merantut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan,
matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang,
Sering saya sulit menekat,
sebab terkurang lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Sanusi
Pane dan Rustam Effendi adalah sastrawan yang tergolong ke dalam
Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini hidup sekitar tahun 1930-an sampai
dengan awal tahun 40-an. Akan tetapi pengaruh puisi lama terhadap puisi
modern tidaklah berhenti pada angkatan tersebut. Para penyair
setelahnya, seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Sitor Situmorang pun
masih menampakkan pengaruh itu, seperti tampak pada puisi “Beta Patti
Rajawane. Mantera”, dan “Lagu Gadis Itali”. Bahkan, dalam puisi-puisi
mutakhir kini, seperti karya Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah,
dan Hamid Jabbar unsur-unsur lama itu tampak sekali. Semua itu dapat
membuktikan bahwa para penyair modern tidak membuang begitu saja warisan
para pendahulunya, melainkan menjadikannya sebagai sarana, bahan
pengalaman artistik dan estetik, serta titik tolak penciptaan puisinya.
Dengan kata lain, mereka masih tetap mempertimbangkan tradisi para
pendahulunya.
Uraian
di atas menunjukkan kepada kita bahwa untuk sampai pada pemahaman puisi
modern, kita dapat bertolak dari puisi lama. Demikian pula untuk sampai
pada penulisan puisi modern, kita dapat memulainya dengan menulis puisi
lama. Jadi, tidaklah sia-sia kreativitas yang telah kita lakukan.
Sekarang marilah kita mempersiapkan diri untuk membuat puisi modern.
Namun, sebelum sampai pada proses kreatif penciptaan yang bersifat
idividual, kita akan bersama-sama mencoba untuk melatih imajinasi dan
daya kreatif kita dengan mengikuti latihan berikut.
(1) Mendeskripsikan Objek Konkret secara Emotif
Objek
konkret yang kita inderai seperti: kucing peliharaan, bunga melati,
gunung, laut, dan air terjun dapat menjadi bahan pokok puisi kita.
Penyair Abdul Hadi W.M. (dalam Eneste, ed,. 1984) pernah berujar, “Saya
paling suka menulis puisi jika hujan sedang turun atau sambil melihat
kolam air yang memantulkan bayang-bayang benda di atasnya atau langit”.
Jika penyair saja menyukai objek yang kasatmata sebagai ilham bagi
puisi-puisinya apalagi kita yang baru mau belajar. Cara yang mudah
adalah dengan mendeskripsikan seluk-beluk objek tersebut. Akan tetapi,
karena kita tengah berlatih menulis puisi, deskripsi kita hendaknya
dibangun dengan menggunakan bahasa yang bersifat emotif. Misalnya,
ketika tengadah ke langit malam hari, seseorang takjub pada ribuan
bintang yang tertebar di atas langit. Kemudian, ia mendeskripsikannya
melalui puisi berikut:
Bintang
kemerlap jauh di atas sana
tertebar di langit hitam
Bintang
bertebaran ribuan jumlah
berhamburan melimpah ruah
Bintang, bintang, bintang!
Kapan kau terhampar di tanah
agar manusia tak kehilangan arah.
1972
(2) Mengurai Nama Diri
Nama
adalah identitas pokok diri kita. Manusia dapat saling mengenal dan
menyapa karena memiliki nama. Betapa kecewanya seseorang saat namanya
tidak tercantum dalam daftar orang-orang yang berhak mengikuti ujian.
Saat mendapatkan ratusan nama yang berhak mendapatkan hadiah undian
sebuah produk sabun di sebuah surat kabar, tentu Anda tidak bergembira
karena nama Anda tidak tercantum di dalamnya. Sebaliknya, Anda berteriak
kegirangan manakala huruf A sejajar dengan nama Anda dalam sebuah
daftar nilai ujian. Semua membuktikan bahwa kita sangat peduli dengan
nama kita sendiri.
Kepedulian
terhadap nama diri dapat dimanfaatkan untuk belajar menulis puisi.
Caranya, yaitu dengan menderetkan nama kita secara vertikal. Misalnya,
orang yang bernama Rizal dapat mengurai namanya seperti berikut:
R
I
Z
A
L
Kemudian,
kembangkanlah imajinasi dan kreativitas Anda untuk melanjutkan setiap
inisial atau huruf awal tersebut. Yang paling mudah adalah menguraikan
keadaan atau pengalaman diri sendiri. Anggap saja, misalnya Rizal adalah
seorang remaja yang sedang melamun untuk sampai pada hari ulang
tahunnya yang ketujuh belas. Ia menulis namanya di buku harian dengan
mengurainya menjadi sebuah puisi.
Riangnya hati ketika datang suatu hari
ltulah ulang tahun yang telah lama dinanti
Zikir dan syukur kepada-Nya
Adalah tindakan yang paling utama
Lalu, aku undang semua teman dan saudara
(3) Menulis Puisi Berdasarkan Tokoh dalam Sejarah, Mitologi, atau dalam Karya Sastra
Karya
sastra cerpen, novel/roman, drama, atau puisi yang telah kita baca
dapat juga dijadikan media dalam belajar menulis puisi. Apabila Anda
menyenangi tokoh tertentu dalam sebuah novel, Anda dapat saja menulis
puisi berdasarkan tokoh tersebut. Puisi tersebut dapat merupakan suara
tokoh tersebut (tokoh menjadi aku lirik), atau komentar kita mengenai
tokoh tersebut. Selain karya sastra, tokoh dalam sejarah, wayang, atau
mitologi dapat juga kita jadikan bahan penulisan puisi. Sebagian besar
di antara kita tentu sudah mengetahui bahwa salah satu puisi Chairil
Anwar yang berjudul “Diponegoro” atau puisi Amir Hamzah yang berjudul
“Hang Tuah” bersumber dari mitos pahlawan. Perhatikanlah puisi berikut,
yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi tersebut bersumber dari
cerita wayang, yaitu Arjuna Sasrabahu atau Sumantri Ngenger.
PESAN
Tolong
sampaikan kepada abangku, Raden Sumantri, bahwa memang kebetulan
jantungku tertembus anak panahnya. Kami saling mencintai, dan antara
disengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada pembatasnya.
Kalau
kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam
padanya, dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan….
(4) Mengkonkretkan Puisi dengan Bantuan Gambar
Kadang-kadang
orang yang memiliki bakat lebih dari satu seni tidak akan pernah puas
ketika dia membuat sebuah karya seni. Ada sebagian penyair yang
mengkonkretkan puisi dengan tambahan gambar atau membentuk tipografi
puisi sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, ada juga pelukis yang
menambahkan kata-kata ke dalam lukisannya, seperti yang terjadi pada
Zaini atau Herry Dim. Untuk puisi, kita dapat menyebut Sutardji Calzoum
Bachri sebagai salah seorang penyair puisi konkret. Kemudian, apa yang
terbayang dalam benak kita ketika membaca puisi Akhudiat berikut ini:
( ( (plung) ) )
Puisi
yang dikonkretkan melalui gambar, yang dikenal dengan puisi konkret,
memang bukan hal yang baru. Di Amerika penyair E.E. Cummings pernah
melakukannya, demikian pula penyair Appolonaire di Prancis. Apabila kita
kini belajar menulis puisi konkret, tentu tujuannya bukan untuk membuat
pembaharuan, melainkan untuk merangsang dan mengembangkan imajinasi.
Hal ini dapat kita mulai, misalnya dengan membuat puisi tentang bunga,
rumah, atau benda konkret lainnya, kemudian tipografi dan kaligrafinya
kita susun sehingga serupa dengan objek yang kita jadikan bahan
penulisan puisi.
(5) Menulis Puisi Berdasarkan Pengalaman Diri
Kita
sering kali mendengar kata-kata, ” Orang dapat menulis puisi ketika
sedang jatuh cinta”, atau “Kesedihan akan berkurang apabila dituangkan
melalui puisi”. Kata-kata tersebut, meskipun belum tentu menghasilkan
puisi yang bermutu dari segi estetik, dapat Anda manfaatkan sebagai
bahan berlatih dalam menulis puisi. Terlebih-lebih, manusia sebagai
makhluk hidup tidak akan luput dari pengalaman, baik yang menyedihkan
maupun yang membahagiakan. Pengalaman itu tidak perlu Anda tunggu sampai
datang karena Anda dapat menghadirkan kembali pengalaman yang telah
lampau. Ketika Chairil Anwar ditinggal nenek yang dicintainya, ia sangat
sedih. Namun, kesedihan itu ia konpensasikan menjadi kegiatan kreatif
sehingga ia mampu menciptakan sajak berikut:
NISAN
untuk neneknda
bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
Beberapa
cara latihan di atas tampaknya masih umum sebab tujuannya sekedar
merangsang imajinasi agar dapat berkreasi dengan menulis puisi. Namun,
manfaatnya tak dapat diragukan sebab untuk belajar menulis puisi tidak
ada jawaban lain, seperti kata Saini K.M., kecuali…”Tulis!”
2. Membacakan Puisi
Istilah “baca puisi” (poetry reading) sudah
akrab di telinga kita. Untuk meluncurkan antologi puisinya, penyair
sering kali mengadakan acara baca puisi sebelum kritikus mengulasnya.
Acara hari-hari besar, seperti HUT RI, Hari Pahlawan, atau acara penarik
simpati dan solidaritas terkadang juga diisi dengan baca puisi. Selain
itu, acara khusus yang bersifat kompetisi pun sering kali
diselenggarakan.
Akan
tetapi, perdebatan acap kali muncul manakala baca puisi dikaitkan
dengan istilah lainnya, yaitu “deklamasi”. Kedua istilah itu ada yang
membedakannya secara hitam putih sehingga muncul fenomena yang aneh.
Baca puisi adalah berdiri mematung dengan teks puisi di tangan serta
berusaha tidak bergerak dan deklamasi adalah membaca puisi yang telah
dihafal dengan tambahan gerak artifisial. Apakah pembedaan itu memang
demikian?
Memang
harus kita akui, pemahaman orang terhadap kedua istilah tersebut
belumlah sama. Mursal Esten (1987) dan Erizal Gani (1989) menganggap
deklamasi dan baca puisi merupakan fenomena seni yang berbeda.
Dalam
membedakan kedua istilah itu, biasanya orang langsung menghubungkan
dengan kiprah Rendra sepulang dari Amerika. Baca puisi, katanya,
merupakan oleh-oleh Rendra dari Negeri Paman Sam, yang langsung
menggilas tradisi deklamasi di tanah air. Padahal, Rendra sendiri tidak
membedakan kedua istilah itu. Bahkan, di Barat pembedaan baca puisi
tidak dihubungkan dengan deklamasi melainkan dikontraskan dengan puisi
oral (oral poetry). Menurut Preminger (1974:967–970), baca
puisi merupakan tradisi baru, yaitu tradisi masyarakat yang telah
mengenal dunia baca-tulis atau keberaksaraan, sementara puisi oral
sebaliknya, yaitu tradisi masyarakat yang masih berada dalam dunia
keniraksaraan.
a. Dasar-Dasar dan Petunjuk dalam Membaca Puisi
Apabila
kita menyaksikan orang membaca puisi, adegan itu sebenarnya hanya
merupakan tahap akhir yang tampak ke permukaan. Kualitas tahap akhir ini
bergantung pada tahap-tahap sebelumnya yang dapat kita sebut tahap
dasar. Menurut Aritonang (1990), dasar-dasar baca puisi itu mencakup
olah vokal, olah musikal, olah sukma, olah mimik, olah gerak, dan
wawasan kesastraan. Apabila dasar-dasar ini telah kita kuasai,
selanjutnya kita akan sampai pada proses pembacaan. Dalam proses
pembacaan inilah kita berusaha mencapai kualitas baca puisi secara
optimal. Hal itu dapat dimungkinkan apabila kita mengikuti tahap
pembacaan sebagai berikut:
a. Membaca dalam hati (agar puisi tersebut terapresiasi secara penuh).
b. Membaca nyaring (agar pembaca dapat mengatur daya vokal, tempo, timbre, interpolasi, rima, irama, dan diksi).
c. Membaca kritis (dengan mengoreksi pembacaan sebelumnya: segisegi apa yang masih kurang dan bagaimana cara mengatasinya).
d. Membaca puitis.
Untuk
sampai pada pembacaan puisi yang kita idam-idamkan, yaitu membaca
puitis, kita dapat juga mengikuti petunjuk yang disarankan oleh Mursal
Esten (1987):
a. Perhatikanlah judul puisi.
b. Lihatlah kata-kata yang dominan.
c. Selamilah makna konotatif.
d. Dalam mencari dan menemukan makna, yang benar adalah makna yang sesuai dengan struktur bahasa.
e. Tangkaplah pikiran yang ada dalam puisi dengan memparafrasekannya.
f. Jawablah apa dan siapa yang dimaksud dengan kata ganti dan siapa yang mengucapkan kalimat yang diberi tanda kutip.
g. Temukanlah pertalian makna tiap unit puisi (kata demi kata, frase demi frase, larik demi larik, dan bait demi bait).
h. Carilah dan kejarlah makna yang masih tersembunyi.
i. Perhatikanlah corak dan aliran sajak yang kita baca (imajis, religius, liris, atau epik?).
j. Tafsiran kita terhadap puisi mesti dapat kita kembalikan kepada teks puisi itu sendiri.
b. Rampak Puisi
Istilah rampak puisi
tampaknya hanya dikenal di daerah Jawa Barat sebab merupakan analogi
dari rampak kendang. Barangkali istilah ini sepadan dengan istilah yang
digunakan oleh Rusyana (1982), yaitu “paduan baca” puisi.
Rampak
puisi dapat dianggap sebagai varian dari baca puisi sebab pembacanya
masih mengandalkan teks puisi. Perbedaannya, apabila baca biasa
dilakukan oleh seorang pembaca, rampak puisi lazimnya dilakukan
oleh lebih dari satu orang. Selain itu, rampak puisi memiliki beberapa
keuntungan. Misalnya, dalam membaca puisi epik atau naratif, pembaca
puisi tunggal harus dapat membedakan narasi dan karakter tokoh,
sedangkkan dalam rampak puisi,hal itu merupakan tugas bersama. Dalam
membaca puisi, sebut saja, “Penangkapan Sukra” secara rampak, kita
tinggal menyesuaikan para pembaca dengan karakter tokoh: siapa yang
menjadi narator, Sukra, Putra Mahkota, perempuan yang menjerit, dan
kelompok koor. Sebagian pembaca dapat juga bertugas memberi efek suara
tertentu, seperti suara serigala, kuda, tombak yang dihentakkan, suara
batin Sukra. atau suara keramaian orang.
Namun,
satu hal yang perlu diperhatikan, rampak puisi tidak perlu memanfaatkan
pentas secara optimal. Pembaca puisi hanya berusaha agar pembacaannya
puitis dan agar tidak mengganggu pandangan penonton, para pembaca
mestilah mengatur posisi bacanya sehingga “enak” dipandang.
c. Dramatisasi Puisi
Dalam Kamus lstilah Sastra (1986) suntingan
Panuti Sudjiman disebutkan bahwa dramatisasi sepadan dengan istilah
“dramaan”. Batasan kedua istilah tersebut adalah pengalihan karya
sastra, baik puisi, cerpen, dan lainnya menjadi drama. Dengan demikian,
dramatisasi puisi dapat berarti “mendramakan puisi”. Dalam hal ini,
puisi mesti tunduk pada kaidah-kaidah drama. Misalnya, apabila dalam
konvensi drama terdapat kramagung/teks samping/petunjuk pengarang dan wawancang/dialog/
cakapan, maka dalam dramatisasi puisi pun demikian. Pendeknya, jika
kita akan menampilkan dramatisasi puisi di atas pentas, syarat utama
yang harus kita lakukan adalah memahami terlebih dahulu konvensi drama
pentas sehingga kita mesti menguasai penataan pentas (skeneri), blocking dan acting yang benar.
Dramatisasi
puisi memang mesti bertolak dari puisi. Akan tetapi, agar puisi itu
sesuai dengan kaidah pemanggungan, maka seyogianyalah apabila puisi
tersebut ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam drama.
d. Musikalisasi Puisi
Musikalisasi
puisi adalah menggubah puisi menjadi sebuah lagu. Dengan demikian,
antara puisi dan musik harus memiliki keselarasan. Sepintas memang tidak
terdapat perbedaan antara musikalisasi puisi dan lagu yang diiringi
musik. Bukankah lagu juga bersumber dari lirik puisi? Syair atau lirik
lagu biasanya dibuat setelah musik tercipta. Namun, dapat juga pemusik
menciptakan musik dan lirik lagunya secara bersamaan. Bahkan, Ebiet G.
Ade biasa membuat syair terlebih dahulu sebelum menyusun partitur
musiknya. Meskipun demikian, tidak ada keharusan bagi pemusik untuk
tunduk kepada lirik lagu. Jika perlu, untuk menyelaraskan lirik dengan
musik dapat saja kita mengubah atau mengganti kata-kata syair tersebut.
Dalam musikalisasi puisi tidaklah demikian. Hal itu disebabkan puisinya
sudah tercipta dan merupakan salah satu bentuk seni, yaitu karya sastra.
Dengan demikian,
dalam
musikalisasi, aransemen musik tidak boleh mengubah puisi. Puisi harus
tetap utuh. Di sinilah kita dituntut untuk lebih kreatif karena dalam
musikalisasi puisi yang ideal, aransemen musik mesti dapat menangkap
karakter puisi yang digubah. Misalnya, puisi yang bersuasana muram dan
sedih selayaknyalah apabila ditampilkan dalam nada dan irama musik yang
bernuansa muram dan sedih pula.
Contoh
konkret musikalisasi puisi sebenarnya sudah kita kenali. Misalnya, grup
Bimbo pernah menyanyikan lagu “Salju” yang bersumber dari puisi Wing
Karjo atau “Sajadah Panjang” yang bersumber dari puisi Taufik Ismail.
Akan tetapi, grup Bimbo tidak pernah mengkhususkan diri pada
musikalisasi puisi. Puisi-puisi yang mereka gubah barangkali karena
dianggap sesuai dengan karakter musik mereka. Contoh yang sangat tepat
untuk musikalisasi adalah album kaset Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi yang
diproduksi oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Kedua album ini
memang khusus direkam untuk kepentingan musikalisasi puisi-puisi karya
Sapardi Djoko Damono.
Untuk kepentingan apresiasi puisi, memusikalisasi puisi dapat dijadikan kegiatan penguatan (reinforcement). Yang
penting, Anda memiliki kepekaan rasa sehingga dapat menyelaraskan
karakter musik dengan puisi yang kita pilih sebagai lirik lagunya. Kita
pun tidak perlu terpaku pada musikalisasi puisi yang telah ada.
Misalnya, apabila Anda mengadakan lomba musikalisasi puisi, materi lomba
tidak perlu puisi yang sudah dimusikalisasi karena ini akan menimbulkan
pemajalan daya kreativitas. Biarkanlah peserta lomba berkreativitas
untuk memadukan karakter puisi dengan musik yang dimainkan. Alat musik
pun tidak harus selamanya gitar, piano, biola, dan alat musik modern
lainnya. Alat musik etnik, seperti rebana, rebab, kecapi, gamelan, gong,
dan gendang dapat menghasilkan musikalisasi puisi yang eksotik dan ebih
bernuansa warna lokal. Bukankah yang membuat menarik pementasan
musikalisasi puisi kelompok Sanggar Matahari Jakarta dan Kiai Kanjeng-nya
Emha Ainun Nadjib adalah musik etniknya juga? Kemudian, apabila kita
hubungkan dengan karakter puisi Indonesia, bukankah unsur-unsur etnik
atau warna lokal juga merupakan bagian senyawa yang tak terpisahkan?
PROSA
A. Prosa dan Unsur-Unsurnya
1. Pengertian Prosa dan Jenis-Jenisnya
Definisi
dari prosa itu sendiri ialah karangan bebas yang tidak terikat oleh
banyaknya baris, banyaknya suku kata, serta tak terikat oleh irama dan
rimanya seperti dalam puisi. Sehingga prosa dapat dibedakan menjadi prosa lama dan prosa baru.
a. Prosa Lama
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Ialah yang mengisahkan tentang kehidupan raja-raja dewa-dewa. Dalam hikayat biasanya melukiskan kesaktian atau kehebatan pelakunya.
1) Cerita-cerita Panji
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
2) Cerita Berbingkai
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan. Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini menjadi cerita yang bersusun-susun.
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan. Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini menjadi cerita yang bersusun-susun.
3) Tambo
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
4) Dongeng
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba, Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung, Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam. Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba, Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung, Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam. Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
b. Prosa Baru
Bila
dalam prosa lama kita dibawa pada alam khayal atau santai, namun dalam
prosa baru kita dibawa pada peristiwa-peristiwa yang kita hayati dan
alami tiap hari.
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
1) Roman
Ialah cerita yang melukiskan sesuatu kehidupan manusia, baik perbuatan lahir maupun peristiwa-peristiwa batinnya.
2) Novel
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
3) Cerpen
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
4) Kisah
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
5) Biografi dan Otobiografi
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
6) Esai
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
2. Prosa Naratif dan Unsur-Unsurnya
Bagian ini membahas unsur-unsur prosa naratif/narasi (kisahan). Dalam buku berjudul Membaca Sastra prosa narasi didefinisikan sebagai semua teks/karya rekaan yang tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sedereran peristiwa. Ke dalam kelompok ini dapat dimasukkan roman/novel, cerita pendek, dongeng, catatan harian, otobiografi, biografi, anekdot, lelucon, roman dalam bentuk surat-menyurat (epistoler), cerita fantastik maupun realistik.
Pada dasarnya prosa naratif dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik meliputi segala unsur yang membangun dari dalam karya sastra itu sendiri. Unsur yang membangun dari dalam antara lain: a) plot, b) penokohan dan perwatakan, c) sudut pandang (point of view), d) latar atau setting, dan e) tema.
Unsur ekstrinsik adalah segala unsur dari luar karya sastra yang turut membangun sebuah karya sastra. Dalam buku yang berjudul Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi dikatakan bahwa segi ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. (1988: 45).
Rene Wellek dan Austin Warren mengatakan, bahwa unsur ekstrinsik karya sastra adalah keadaan subyektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik yang lain adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Ada juga unsur ekstrinsik yang berupa pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain dan sebagainya. (1991: 75-135).
Unsur-unsur pembangun prosa naratif dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Unsur Intrinsik
1) Tema
Jika kita membaca cerita fiksi misalnya novel, sering terasa bahwa pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja, namun ada konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita karena akan mengemukakan suatu gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasari suatu cerita karya sastra itu yang biasa disebut tema. Dengan adanya tema membuat karya sastra lebih penting dari pada bacaan hiburan.
Mochtar Lubis menyatakan bahwa suatu cerita pendek harus mempunyai dasar (tema). Dasar inilah yang paling penting dari seluruh cerita, jika tidak mempunyai dasar tidak ada artinya sama sekali dan atau tidak berguna (1986: 18). Supaya mendapat gambaran yang jelas tentang pengertian tema, penulis akan mengutip pendapat para ahli. M. Saleh Saad menyatakan, Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang menjadi pers?alan bagi pengarang. Di dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-cita pengarang, bagaimana ia melihat pers?alan itu. (1989: 118). Pendapat ini sesuai dengan pendapat M.S. Hutagalung yang menyatakan, Tema adalah pers?alan yang berhasil menduduki tempat utama dalam cerita. (1987: 77). Jakob Sumardjo dan Saini KM juga menyatakan, Tema adalah ide sebuah cerita. (1996: 56).
Adapun Suhariyanto menyatakan, Tema disebut juga dasar cerita yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra dari halaman akhir. (1982: 28). Sedangkan Aminuddin menyatakan, Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita hingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. (1985: 25). Lebih lanjut Hartono dan Rahmanto menyatakan tema adalah merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (1986: 142).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema itu pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas dan abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, hal itu haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Tema menurut Stanton (1965: 21) yaitu tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya kurang lebih bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah, atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya.
Pengarang yang baik mempunyai tema yang universal dan mempunyai kesanggupan untuk menjabarkan tema tersebut menjadi sub-sub yang menyangkut kehidupan pribadi. Meskipun pengarang tersebut sanggup menulis detil-detil kehidupan yang kecil, namun yang penting bukan detil itu sanggup mengirimkan kilau yang indah dan memberi kesan bahwa kilau-kilau ini tidak terjadi oleh detil saja, namun oleh keseluruhan (Budi Darma, 1984: 68-69).
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa tema adalah inti persoalan, pokok pembicaraan merupakan dasar penceritaan serta merupakan patokan dalam menggerakkan cerita dari awal sampai akhir.
Tema tidak perlu selalu berwujud moral atau ajaran moral, tema hanya bisa terwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Tema yang akan dijadikan dasar penciptaan karya sastra biasanya diambil dari hal-hal yang menarik bagi seorang pengarang yang bersumber pada pengalaman kehidupannya, misalnya kisah kehidupan manusia yang penuh konflik, kesengsaraan, cinta baik itu nama manusia maupun dirinya sendiri. Konflik inilah yang menimbulkan persoalan-persoalan yang menarik untuk diangkat dan dijadikan bahan cerita.
Pengarang yang baik mampu menemukan tema hakiki manusia. Ia mempunyai kekuatan mata seperti rontgen yang dapat menembus tubuh manusia dan seperti televisi kuat yang dapat menangkap gambar-gambar dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara masyarakat, dan lagi bagaikan memiliki indera tambahan yang mampu menangkap getaran masyarakat yang menderita (Budi Darma, 1984: 69). Mochtar Lubis menyatakan bahwa wilayah pengarang luas sekali, se?lah-?lah tanpa batas. Wilayah yang paling baik adalah menjelajah ke ruang dalam manusia sendiri, artinya kepada batin manusia yang memiliki berbagai permasalahan kehidupan (1980: 182).
Dalam cerita novel yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang menggunakan dialog-dialog dengan tokoh-tokoh, jalan pikiran, perasaan, kejadian-kejadian, dan setting cerita.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Pengkategorian tema yang akan dibahas berikut ini ada tiga macam antara lain: 1) yang bersifat tradisional dan nontradisional, 2) dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan c) dari tingkat keutamaannya.
Penggolongan tema tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya itu-itu saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai tema yang bersifat tradisional itu, misalnya:
(1) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan
(2) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga
(3) tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik ala ketara).
(4) cinta yang sejati menuntut pengorbanan
(5) kawan sejati adalah kawan di masa duka
(6) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan
(7) atau (seperti pepatah-pantun) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan sebagainya.
Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972: 66).
Tema nontradisional adalah tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca, karena bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b) Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subyek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya efektifitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.
(2) Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempers?alkan masalah seksualitas, suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami istri, atau skandal-skandal seksual yang lain.
(3) Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi obyek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
(4) Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa menuntut pengakuan atas hak individualitas-nya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.
(5) Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Karya sastra yang bersifat kontemplatif (ketafakuran) pun dapat dikategorikan ke dalam tema tingkat ini.
c) Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema utama atau tema pokok cerita, atau tema mayor artinya makna pokok cerita dasar atau gagasan dasar umum karya itu, Menentukan tema pokok atau tema utama sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktifitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu.
Tema tambahan atau tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna tambahan. Makna tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Bahkan sebenarnya, adanya koherensi yang erat antar berbagai makna tambahan inilah yang akan memperjelas makna pokok cerita. Jadi, makna-makna tambahan itu, atau tema-tema minor itu, bersifat mempertegas eksistensi makna utama, atau tema mayor.
1) Tokoh
Yang
dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang
mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa
cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud
binatang atau benda yang diinsankan.
Berdasarkan
fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu
tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak
mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh
sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang
membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.
b) Tokoh
sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan
perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan
nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a) Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b) Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c) Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh
datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari
satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali
berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun,
kancil, film animasi).
b) Tokoh
bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya
diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.
2) Penokohan
Yang
dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra
tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a) Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b) Metode
dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui
pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan
dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau
tempat tokoh.
c) Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu
a) Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b) Melalui
ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh
tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau
halus.
c) Melalui penggambaran fisik tokoh.
d) Melalui pikiran-pikirannya
e) Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.
3) Alur
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a) Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
b) Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c) Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
Struktur Alur
Setiap
karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun
demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita.
Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur
cerita adalah
a) Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangkasangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b) Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c) Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement)
Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika
urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela
dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut
terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot
balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu
ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat
tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah
ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses
pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk
menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran
peristiwa yang akan terjadi.
Bagian Tengah Alur
Tikaian
adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang
bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks
cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima
seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh
cerita.
Bagian Akhir Alur
Bagian
sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan
perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir
atau penutup cerita.
Dalam
membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang
perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting
tersebut adalah
a) faktor
kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya
meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian
masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang
di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b) Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c) Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.
Selain
itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau
digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak
berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang
sedang dihadapi dalam cerita.
Macam Alur
Pada
umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur
mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang
urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud
alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai
dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian
seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu
pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat
dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu
a) alur berdasarkan urutan waktu
b) alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c) alur
berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa
seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita
tersebut masih dapat dipahami.
Dalam
hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami.
Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di
samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah
rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal.
Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back.
Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan
adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian.
Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan
peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.
4) Latar (Setting)
Latar
adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan
waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar
meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan,
perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya
kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan
emosional tokoh.
Macam Latar
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar
sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok
sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
Fungsi Latar
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras
5) Sudut Pandang (Point Of View)
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang
dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana
tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita.
Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan
menjadi dua, yaitu
- Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
- Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang
dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di
mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita.
Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya
pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
- Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
- Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang
orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada
prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita
merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan
cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a) Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b) Sudut
penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu
tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan
mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c) Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d) Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a) Sudut
pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan
ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b) Sudut
pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan
dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c) Sudut
pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau
keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan.
Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang
menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut
pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang
impersonal (di luar cerita).
Menurut
Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus
pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang
merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan
merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
a) Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b) Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c) Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d) Pengarang serba tahu.
6) Gaya Bahasa
Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas. Nada pada karya sastra merupakan ekspresi jiwa.
7) Amanat
Amanat
adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada para pembaca
melalui karyanya, yang akan disimpan rapi atau disembunyikan pengarang
dalam keseluruhan cerita.
b. Unsur Ekstrinsik
Selanjutnya dalam uraian ini penulis akan menguraikan salah satu unsur ekstrinsik saja yaitu berupa fakt?r sejarah. Obyek karya sastra adalah realitas, apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat:
1) Mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajinatif dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang.
2) Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah.
3) Seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Karya sastra yang menyajikan peristiwa sejarah sebagai bahan, dapat berupa puisi atau prosa. Dalam peristilahan ilmu sejarah, peristiwa sejarah sering dicakup dalam istilah fakta sejarah. Dalam hal ini fakta sejarah mempunyai arti kembar, yaitu: a thing d?ne, an acti?n, deed, event (artinya tindakan, aksi, perbuatan, peristiwa, pertandingan, perlombaan). Termasuk di sini perbuatan-perbuatan tunggal seperti baris-berbaris, penarikan bendera, pembacaan naskah Proklamasi, yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, atau nama umum bagi peristiwa sejarah itu, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, fakta sejarah dapat berupa a particular truth (kebenaran fakta) misalnya menurunnya kemakmuran Indonesia pada akhir abad ke-19 fakta yang merupakan generalisasi dari sejumlah sejarah fakta-fakta khusus yang menunjukkan gejala umum.
Peristiwa sejarah sebagai bahan baku di?lah secara berbeda oleh tulisan sejarah dan ?leh karya sastra. Dalam tulisan sejarah, bahan baku ditulis sejarah itu telah dipr?ses melalui prosedur tertentu. Dari sumber-sumber sejarah sejarawan harus melakukan kritik, intrepretasi, dan sintesa sampai ia sanggup menyuguhkan rek?nstruksi sejarah. Bagi sejarawan, fakta sejarah merupakan apa yang disebut ?leh William James (dalam Psikologi) seperti: irreducable and stubborn facts. Bahkan sejarawan dituntut untuk hanya mengemukakan apa yang sesungguhnya terjadi. Sejarawan harus bert?lak dan selalu kembali kepada fakta dalam usahanya untuk merangkai peristiwa sejarah menjadi kesatuan yang utuh. Dengan bahan-bahan itu sejarawan mencari system ?f interacti?n yaitu hubungan antara fakta-fakta secara memadu.
Karya sastra mempunyai pendekatan lain. Peristiwa sejarah dapat menjadi pangkal tolak bagi sebuah karya sastra, menjaadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggungjawabkan terlebih dahulu. Peristiwa sejarah, situasi, kejadian, perbuatan, cukup diambil dari khasanah accepted bagi hal-hal dari masa lampau atau dari comm?nsense (pikiran sehat) bagi peristiwa-peristiwa kontemporer (Kuntowijoyo, 1987: 127-130).
B. Pembelajaran Apresiasi Prosa
Pembelajaran
prosa yang ditawarkan antara lain sebagai berikut: (1) Membaca cerita
pendek atau novel dan mendiskusikan cara penyampaian pesan atau amanat
yang terdapat dalam karya sastra tersebut. (2) Membahas konflik yang
terdapat dalam cerita pendek atau novel/ roman.
Kegiatan
awal yang dilakukan guru adalah mempersiapkan cerpen atau novel yang
akan digunakan sebagai bahan pembelajaran apresiasi prosa. Pada kegiatan
tersebut guru menandai bagian mana yang akan didiskusikan dengan
siswanya, apakah alur, tema, tokoh, sudut pandang, atau amanat dalam
prosa tersebut. Selain itu guru harus memperhitungkan waktu yang
tersedia dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Hal lain yang penting
adalah adanya gagasan pokok yang akan disampaikan kepada siswa yang
merupakan acuan ke arah pembentukan moral mereka. Gagasan pokok tersebut
ibarat niat guru dalam membelajarkan siswa di dalam pembentukan moral,
pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran sastra
di dalam kurikulum.
Selain
persiapan guru, persiapan siswa juga diperlukan. Mengingat membaca
cerpen memerlukan waktu yang cukup lama, diperlukan dulu membaca di luar
jam tatap muka di kelas (misalnya dengan tugas membaca di rumah). Pada
waktu membaca, siswa ditugasi memberi tanda pada bagian-bagian yang
perlu dipertanyakan, atau memberi tanda bagian yang menarik perhatiannya
di dalam cerpen yang dibacanya.
Setelah
guru dan siswa mempunyai kesiapan untuk pembelajaran cerpen, di kelas
berlangsung kegiatan diskusi tentang cerpen tersebut. Hal ini tentunya
guru sudah mempersiapkan rambu-rambu dalam kegiatan diskusi tersebut.
Rambu-rambu tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Peristiwa cerita, dapat dimulai dengan cara mengajukan pertanyaan berikut:
a. Peristiwa apa yang dikemukakan pengarang untuk mengawali ceritanya?
b. Apa peristiwa selanjutnya?
c. Adakah hubungan antara peristiwa-peristiwa tersebut?
2. Tokoh dan penokohan, diskusi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Melihat para tokoh, siapa tokoh utama, bawahan atau tambahan?
b. Mengapa disebut sebagai tokoh utama atau tambahan?
c. Dari sudut fungsiya, siapakah yang disebut sebagai tokoh protagonist dan antagonis?
d. Mengapa disebut tokoh protagonis dan antagonis?
e. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, adakah tokoh seperti itu?
3. Latar (waktu, tempat, dan suasana), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Di mana peristiwa itu terjadi?
b. Kapan peristiwa itu terjadi?
c. Berapa lama peristiwa itu berlangsung?
d. Pada suasana apa peristiwa itu terjadi?
4. Sudut pandang, diskusi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Dari sudut pandang siapa peristiwa itu diceritakan pengarang?
b. Bukti-bukti apa yang memperlihatkan sudut pandang tersebut?
5. Tema, kegiatan diskusi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Apa tema cerita?
b. Di bagian mana tersirat tentang tema?
c. Apa yang menjadi bukti bahwa tema tersurat dalam cerita?
6. Amanat, dapat didiskusikan sebagai berikut:
a. Apakah amanat yang ada dalam cerita?
b. Apakah amanat tersebut secara tersurat atau tersirat?
c. Apakah amanat tersebut dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari?
7. Kesan
Apa
kesan siswa tentang cerita yang didiskusikan merupakan pertanyaan untuk
membangkitkan perasaan siswa terhadap isi cerita. Kelancaran diskusi
tentang kesan yang dipelajari sangat tergantung pada aktivitas yang
dilancarkan guru dalam menggiring pertanyaan-pertanyaan yang
membangkitkan apresiasi siswa. Pertanyaan yang diajukan tidak hanya
pertanyaan yang bersifat kognitif, tetapi juga pertanyaan yang bersifat
afektif dan psikomotor.
B. Ekspresi Prosa
1. Menulis Prosa
Menulis
buku harian merupakan upaya pembiasaan agar kita memiliki kompetensi
keterampilan menulis. Awalnya mungkin kita hanya menulis catatan
penting, seperti agenda kerja atau agenda kegiatan sehari-hari. Hal itu
merupakan langkah awal yang baik. Kegiatan itu dapat kita lanjutkan
dengan mencatat peristiwa penting, misalnya gempa bumi, tabrak lari,
atau pencurian. Peristiwa tersebut dapat kita kembangkan dengan
melibatkan imajinasi kita sehingga tokohnya diberi karakter tertentu,
peristiwanya dijalin lebih memikat, dan latarnya dirinci secara detil.
Apabila kegiatan ini masih dianggap sulit, kita dapat melakukan kegiatan
menulis secara sederhana, yaitu menarasikan pengalaman yang telah kita
lakukan dari bangun tidur hingga ketika akan tidur kembali.
Beberapa
kegiatan yang telah kita lakukan dalam menulis puisi dapat kita
manfaatkan juga untuk kepentingan menulis prosa, khususnya cerpen.
Kegiatan yang dimaksud adalah mendeskripsikan objek konkret secara
emotif dan menulis cerpen berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi,
atau karya sastra lainnya.
Para sastrawan acap kali menggunakan fakta cerita dalam sejarah atau mitologi sebagai teks dasar karyanya. Misalnya novel Burung-Burung Manyar karya
Y.B. Mangun Wijaya memunculkan tokoh-tokoh nyata ketika zaman revolusi
kemerdekaan, seperti Amir Syarifudin. Seno Gumira Ajidarma memunculkan
tokoh-tokoh wayang dalam novel Kitab Omong Kosong, atau Hermawan Aksan memunculkan kembali tokoh Diah Pitaloka,
Puteri Sunda yang menjadi martir dalam perang yang tidak seimbang
antara Kerajaan Pajajaran dan Majapahit, yang dikenal dengan Perang
Bubat. Mari kita perhatikan salah satu penggalan cerpen karya Putu
Wijaya berjudul Bisma. Resi Bisma yang dalam mitologi pewayangan
dihormati, disegani, dan dijunjung tinggi oleh pihak Kurawa dan Pandawa
karena sebagai sesepuh Kerajaan Astina, dalam novel tersebut dimunculkan
secara ganjil dan lucu.
Bisma
bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan
tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi
besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap oleh ribuan
panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut, akan
tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah
memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Namun,
satu hal yang perlu kita cermati, Hal yang dilakukan sastrawan bukanlah
untuk menjiplak karya yang sudah ada, melainkan untuk mereaksi,
menanggapi, atau melakukan dialog dengan karya-karya sebelumnya. Bahkan,
cara ini menarik minat para pakar sastra sehingga memunculkan kajian
sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dan
intertekstualitas.
Menulis
prosa pun dapat kita lakukan dengan cara memperhatikan konvensi yang
terdapat dalam sebuah karya prosa. Jika cara ini yang kita pilih, maka
kita harus mempehatikan hal-hal berikut:
1) Tentukanlah
tema cerpen berdasarkan persoalan yang Anda kuasai, kemudian konkretkan
tema tersebut dengan judul yang menarik dan sesingkat mungkin, misalnya
tidak lebih dari lima kata.
2) Sadarilah
bahwa cerpen yang konvensional selain menyertakan judul dan
pengarangnya harus juga dilengkapi aspek formal cerpen lainnya, yaitu
adanya narasi dan dialog tokoh.
3) Kembangkanlah
tema ke dalam unsur-unsur cerpen, seperti fakta cerita (alur, tokoh,
dan latar), sarana cerita (sudut pandang, penceritaan, dan gaya bahasa).
4) Padukanlah
unsur-unsur cerpen dengan memperhatikan kaidah alur, yaitu peristiwa
disusun secara logis dan kronologis, menghadirkan suspense rasa ingin
tahu membuat surprise kejutan dan menjalin seluruh unsur cerpen sehingga
tampak utuh.
2. Membacakan Prosa dan Paduan Baca Prosa
Ekspresi
prosa biasanya dilakukan dengan membacakan cerpen atau dongeng, baik
oleh sendiri maupun oleh beberapa orang yang disebut dengan paduan baca
cerpen. Selain itu, ekspresi prosa dapat dilakukan dengan mendramatisasi
cerpen.
Dalam
membacakan cerpen, kita dapat juga mengikuti teknik seperti dalam
membacakan puisi. Pertama, cerpen kita baca dalam hati. Langkah pertama
ini bertujuan agar kita dapat mengakrabi cerpen sehingga maknanya dapat
kita selami. Langkah kedua adalah dengan membacakan cerpen secara
nyaring. Kita upayakan agar setiap kata dalam kalimat, setiap kalimat
dalam paragraf, dan setiap paragraf dalam cerpen tersebut dapat kita
hidupkan dengan alat artikulasi kita. Dalam langkah kedua ini kita dapat
mencoba untuk mengucapkan narasi dan dialog-dialog cerpen sesuai dengan
karakter masingmasing. Pembaca pun dapat berlanjut ke langkah yang
ketiga, yaitu memperhatikan kapan intonasi ditekan, tempo diperlambat
atau dipercepat, volume suara diperkecil atau diperbesar, dan nada
direndahkan atau ditinggikan. Agar pembacaan tidak berubah-ubah, pembaca
dapat menandai bagian-bagian yang mendapat penekanan tersebut dengan
menggunakan alat tulis, misalnya tinta warna dan penggaris. Dengan
demikian, pembacaan cerpen dapat diulang-ulang hingga sampai pada
langkah yang keempat, yaitu pembacaan cerpen yang estetis. Namun, tentu
saja untuk sampai pada pembacaan cerpen yang estetis diperlukan latihan
berulang-ulang. Oleh sebab itu, membaca kritis harus dilakukan, misalnya
kita tidak perlu ragu untuk meralat atau merevisi bagian-bagian yang
sudah kita tandai.
Hal
serupa dengan langkah membacakan cerpen dapat juga kita lakukan dalam
paduan baca cerpen, namun dengan pembagian tugas yang jelas. Misalnya,
siapa yang akan menjadi narator dan siapa yang akan menjadi tokoh-tokoh
dalam cerpen.
3. Mendongeng dan Mendramatisasi Prosa
Mendongeng
atau bercerita dapat menjadi kegiatan ekspresi prosa yang mengasyikkan
sebab juru dongeng biasanya bertutur tanpa teks sehingga ia pun dapat
memanfaatkan raut muka, gerak-gerik, dan anggota tubuhnya untuk
memperkuat karakter tokoh-tokoh dongeng. Bahan dongeng dapat berupa
cerita rakyat, seperti mite, legenda, fabel, dan cerita jenaka.
Apabila
juru dongeng atau pendongeng di daerah nusantara bercerita dengan
bahasa daerah dan khazanah daerah masing masing, maka kita dapat
memanfaatkan cerita rakyat se-Nusantara yang telah dialihbahasakan ke
dalam bahasa Indonesia sehingga sastra-sastra daerah itu dapat dikenal
lebih luas dalam skala nasional.
Apabila
mendongeng dilakukan secara perseorangan, dramatisasi prosa dapat
dilakukan secara berkelompok. Seperti halnya dramatisasi puisi,
dramatisasi prosa pun harus mengikuti kaidah-kaidah yang terdapat dalam
drama.
Misalnya,
apabila kita akan mendramatisasi cerpen atau cerita rakyat, kedua karya
itu harus dialihkan terlebih dahulu ke dalam naskah drama. Misalnya,
narasi cerpen diubah menjadi petunjuk pemanggungan sehingga yang dialog
tokoh-tokohnya tampak menonjol. Berikut ini akan dikutip sebuah
penggalan teks cerpen, kemudian dialihkan ke dalam teks drama.
Penjaga
kuburan mendekatinya dan bertanya, ”Kenapa Nenek menangis ? Diangkatnya
kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan itu agak lama, dan
suaranya yang gemetar dan tua itu berkata, “Kalaulah cucuku dapat
bertanya seperti engkau itu. Dia berhenti sebentar, dihapusnya air
matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini ? tanyanya kemudian.
Ya.”
Sepantasnya engkau masuk surga, Nak
Kemudian
penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan Nenek itu berkata,
Kuburan-kuburan disini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini, kau
bersihkanlah kuburanku balk-baik, Nak.”
Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup. Kata penjaga kuburan itu.
Benar, saya masih akan lama hidup ?
Benar Nek.
(Motinggo Boesje dalam Hoerip, 1979c: 136)
PANGGUNG MENYERUPAI TEMPAT PERKUBURAN. TAMPAK DI SEBUAH
NISAN SEORANG NENEK SEDANG DUDUK, MENUNDUK, DAN
MERENUNGI BATU NISAN ITU. PENJAGA KUBURAN MENDEKATI NENEK
PENJAGA KUBURAN : Kenapa Nenek menangis ?
NENEK : (memandang penjaga kuburan, suaranya gemetar)
Kalaula cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.
(menghapus air mata)
Engkau sendiri bekerja di sini?
PENJAGA KUBURAN : Ya.
NENEK : Sepantasnya engkau masuk surga, Nak!
(penjaga kuburan duduk di semen kuburan dekat Nenek)
Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini,
kau bersihkanlah kuburanku baik-baik, Nak.
PENJAGA KUBURAN : Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.
NENEK : Benar, saya masih akan lama hidup ?
PENJAGA KUBURAN : Benar, Nek.
DRAMA
A. Hakikat Drama
Konsep
drama mengacu kepada dua pengertian, yaitu dram sebagai naskah dan
drama sebagai pentas. Pembicaraan dram tentang naskah akan lebih
mengarah kepada dasar dari telaah drama. Naskah drama dapat
dijadikan sebagai bahan studi sastra, dapat dipentaskan, dan dapat
dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio atau kaset.
Pagelaran pntas dapat di depan publik langsung, dapat juga di dalam
televisi. Untuk pagelaran drama di televisi, penulisan naskah drama
sudah lebih canggih, mirip dengan scenario film.
Istilah
drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku,
bertindak, atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau
beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan, atau action. Dalam
kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang lebih luas ditinjau
apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai
cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre
sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah
jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis
kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni
kostum, seni rias, dan sebagainya. Jika kita membicarakan drama pentas
sebagai kesenian mandiri, maka terbayang dalam ingatan kita pada wayang,
ketoprak, ludruk, lenong, dan film. Dalam kesenian tersebut, naskah
drama diramu dengan berbagai unsur untuk membentuk kelengkapan (Waluyo,
2003: 2).
Pembedaan
terminologi isitilah drama biasanya didasarkan pada wilayah
pembicaraan, apakah yang dimaksud drama naskah atau drama pentas. Drama
naskah adalah sebagai salah satu jenis karya sastra yang ditulis dalam
bentuk dialog yang didasarkan atas konlik batin dan kemungkinan
dipentaskan. Moulton (dalam Waluyo, 2003: 2) memberi batasan drama
(pentas) sebagai hidup manusia yang dilukiskan dengan action. Hidup manusia yang dilukiskan dengan action
itu terlebih dulu dituliskan, maka drama baik naskah maupun pentas-
berhubungan dengan bahasa sastra. Telaah drama harus dikaitkan dengan
sastra.
Sebagai
karya sastra, bahasa drama adalah bahasa sastra karena itu sifat
konotatif juga dimiliki. Pemakaian lambang, kiasan, irama, pemilihan
kata yang khas, dan sebagainya berprinsip sama dengan karya sastra yang
lain. Akan tetapi karena ditampilkan dalam drama adalah dialog, maka
bahasa drama tidak sebeku bahasa puisi, dan lebih cair daripada bahasa
prosa. Sebagai potret atau tiruan kehidupan, dialog drama banyak
berorientasi pada dialog yang hidup dalam masyarakat.
Perkataan
drama sering dihubungkan dengan teater. Sebenarnya perkataan teater
mempunyai makna yang lebi hluas karena dapat berarti drama, gedung
pertunjukan, panggung, grup pemain drama, dan dapat juga berarti segala
bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak. Pengertiannya
ditentukan oleh konteks pembicaraan. Kita mengenal istilah Jakarta
Teater (gedung bioskop), Teater Arena (Gedung Pertunjukan), Bengkel
Teater (grup drama), Tater Tradisional (jenis tontonan drama), dan
sebagainya.
Dalam
bahasa Indonesia terdapat istilah ssandiwara. Istilah ini diambil dari
bahasa Jawa sandi dan warah, yang berarti pelajaran yang diberikan
secara diam-diam arau rahasia (sandi artinya rahasia, dan warah artinya
pelajaran). Istilah sandiwara radio, sandiwara televisi, sandiwara
kaset, sandiwara pentas menunjukkan bahwa kata sandiwara dapat
menggantikan kata drama. Dalam bahasa Belanda istilah sandiwara ini
disebut dengan nama tonil (toneel) (Waluyo, 2003: 2-4).
B. Struktur Naskah Drama
Menurut Waluyo (2003: 6) drama naskah disebut juga sastra lakon. Sebagai salah satu genre sastra,
drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur
batin (semantih, makna). Wujud fisik sebuah naskah adalah dialog atau
ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra.Oleh sebab itu, bahasa
dan maknanya tunduk pada konvensi sastra, yang menurut Teeuw meliputi
hal-hal berikut ini.
1. Teks sastra memiliki unsure atau struktur batin atau intern structure relation, yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan.
2. Naskah sastra juga memiliki struktur luas atau extern structure relation, yang terikat oleh bahasa pengarangnya.
3. Sistem
sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan
bersusun-susun. Selanjutnya Teeuw juga menyebutkan tiga cirri khas karya
sastra, yaitu sebagi berikut.
a. Teks sastra merupakan keseluruhan yang tertutup, yang batasnya ditentukan dengan kebulatan makna.
b. Dalam
teks sastra ungkapan itu sendiri penting, diberi makna, disemantiskan
segala aspeknya, barang atau persoalan yang dalam kehidupan sehari-hari
tidak bermakna, diberi makna.
c. Dalam
memberi makna itu di satu pihak karya sastra terikat oleh konvensi,
tetapi di pihak lain menyimpang dari konvensi. Karya sastra menunjukkan
ketegangan antara konvensi dengan pembaharuan, antara mitos dengan
kontra mitos (Teeuw, 1983: 3-5).
Dasar
teks drama adalah konflik manusia yang digali dari kehidupan. Penuangan
tiruan kehidupan itu diberi warna oleh penulisnya. Dunia yang
ditampilkan di depan kita (pembaca) bukan dunia primer, tetapi dunia
sekunder. Aktualisasi terhadap peristiwa dunia menjadi peristiwa
imajiner itu seratus persen diwarnai dan menjadi hak
pengarang. Sisi mana yang dominan terlihat dalam lakon, ditentukan oleh
bagaimana penulis lakon memandang kehidupan. Penulisan naskah ada yang
menggambarkan sisi baik kehidupan, ada yang menggambarkan sisi jelek,
dan ada pula yang ingin berkhotbah lewat lakonnya itu.
Konflik manusia biasanya dibangun oleh pertentangan antara tokoh-tokohnya. Dengan pertikaian itu muncullah dramatic action. Daya pikat suatu naskah drama ditentukan oleh kuatnya dramatic action ini. Perkembangan dramatic action dari awal sampai akhir, merupakan tulang punggung pembangun cerita. Unsur kreativitas pengarang terlihat dari kemahiran pengarang menjalin konflik, menjawab konflik dengan surprise, dan memberikan kebaruan dalam jawaban itu. Jika terjadi hal yang demikian, maka naskah itu memiliki suspense (tegangan) yang menambah daya pikat sebuah naskah drama.
Untuk
memahami naskah secara lengkap dan terinci, maka struktur drama akan
dijelaskan lebih lanjut. Unsur-unsur struktur itu saling membentuk
kesatuan dan saling terikat satu dengan yang lain. Ada yang menyebut
plot sebagai unsure utama, tetapi ada juga yang menyebut
perwatakan sebagai unsure pembangun struktur yang utama. Memang kedua
unsure tersebut jain-menjalin. Kekuatan plot terletak dalam kekuatan
penggambaran watak, sebaliknya kekuatan watak pelaku hanya hidup dalam
plot yang meyakinkan.
1. Plot atau Kerangka Cerita
Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan.
Konflik itu berkembang karena kontradiksi para pelaku. Sifat dua tokoh
utama bertentangan, misalnya: kebaikan kontra kejahatan, tokoh sopan
kontra tokoh brutal, tokoh pembela kebenran kontra bandit, tokoh kstaria
kontra penjahat, tokoh bermoral kontra tokoh tidak bermoral, dan
sebaginya. Konflik itu semakin lama semakin meninggi untuk kemudian
mencapai titik klimaks. Setelah klimaks lakon akan menuju penyelesaian.
Jalinan konflik dalam plot itu biasanya meliputi hal-hal berikut.
a. Protasis atau jalinan awal;
b. Epitasio;
c. Catarsis; dan
d. Catastrophe (Aristoteles).
Menurut Gustaf Freytag unsur-unsur plot ini lebih lengkap, yang meliputi hal-hal berikut.
a. Exposition (Pelukisan Awal Cerita)
Pada tahap ini pembaca diperkenalkan dengan tokoh-tokoh drama dengan watak masing-masing.
b. Komplikasi atau Pertikaian Awal
Sebagai
kelanjutan dari awal perkenalan tersebut kemudian berkembang dan mulai
ada konflik-konflik kecil. Konflik-konflik itu kemudian semakin
menanjak.
c. Klimaks atau Titik Puncak Cerita
Perkembangan
konflik-konflik kecil pada pada tahap sebelumnya itu selanjutnya
menjadi semakin memuncak dan biasanya menjadi klimaks.
d. Resolusi atau Penyelesaian atau Falling Action
Dalam
tahap ini konflik mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan
situasi atau meruncingkan konflik telh menemukan jalan pemecahannya
(telah mati).
e. Catastrophe atau Denoument atau Keputusan
Drama-drama modern akan berhenti pada klimaks atau resolusi. Drama tradisional membutuhkan penjelasan akhir, seperti halnya adegan tancep kayon dalam wayang kulit. Dalam tahap ini, ada ulasan penguat terhadap seluruh kisah lakon itu.
Plot dalam drama ada tiga jenis, yaitu sebagai berikut.
a. Sirkuler, artinya cerita berkisar pada satu peristiwa saja.
b. Linear, yaitu cerita bergerak secara berurutan dari A-Z.
c. Episode, yaitu jalinan cerita itu terpisah kemudian bertemu pada akhir cerita.
2. Penokohan
Penokohan erat berhubungan dengan perwatakan. Susunan tokoh (drama personae)
adalah daftar tokoh-tokoh yang berperan dalam drama itu. Dalam susunan
tokoh itu, yang terlebih dulu dijelaskan adalah adalah nama, umur, jenis
kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaannya itu. Penulis
lakon sudah menggambarkan perwatakan tokoh-tokohnya.
Tokoh
antagonis adalah tokoh penentang arus cerita. Biasanya ada seorang
tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur pembantu yang ikut
menentang cerita. Dalam cerita wayang, tokoh ini dikaitkan dengan tokoh
raksasa yang melawan tokoh utama wayang.
Tokoh
protagonis adalah tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau
dua figur tokoh protagonis utama dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang
ikut sebagai pendukung cerita.
Tokoh tritagonis adalah tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis.
3. Dialog (Percakapan)
Ciri
khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan dialog. Dalam
menyusun dialog ini pengarang harus benar-benar memperhatikan
pembicaraan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Pembicaraan yang
ditulis oleh pengarang naskah drama adalah pembicaraan yang akan
diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Bayangan
pentas di atas panggung merupakan mimetic (tiruan) dari kehidupan sehari-hari, maka dialog yang ditulis juga mencerminkan pembicaraan sehari-hari.
Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal
ini disebabkan karena drama adalah potret kenyataan. Drama adalah
kenyataan yang diangkat ke pentas. Nuansa-nuansa dialog mungkin tidak
lengkap dan akan dilengkapi oleh gerakan, musik, ekspresi wajah, dan
sebaginya, dan dalam hal ini, kesempurnaan sebuah naskah akan terlihat
setelah dipentaskan.
Banyak
naskah drama yang sulit dipentaskan karena dialognya bukan ragam bahasa
tutur, tetapi ragam bahasa tulis. Jika pembicaraan berlaku antara ayah,
ibu, dan anak, tentunya digunakan ragam bahasa intim yang tidak
memerlukan kelengkapan bahasa. Jika kalimatnya lengkap, maka dialog
ayah, ibu, dan anak itu tidak akan hidup.
4. Setting/Latar
Setting
atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Penentuan
ini harus secara cermat sebab drama naskah harus juga memberikan
kemungkinan untuk dipentaskan. Setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan waktu.
Setting tempat tidak berdiri sendiri. Derhubungan
dengan waktu dan ruang. Misalnya, tempat di Jawa, tahun berapa, di luar
rumah atau di dalam rumah. Untuk cerita Diponegoro, misalnya, tempatnya
jelas di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 1825-1830, tempatnya di
desa, baik di dalam rumah maupun di medan gerilya. Dengan rumusan
tesebut, kita dapat membayangkan tempat kejadian dengan hidup. Hal ini
berhubungan dengan kostum, tata pnetas, make up, dan perlengkapan lainnya jika drama ini dipentaskan.
Setting waktu juga berarti apakah lakon terjadi di waktu siang, pagi, sore, atau malam hari. Siang
atau malam di desa dan di kota akan berbeda pula keadaannya. Di ruang
mana? Di ruang sebuah keluarga modern yang kaya akan lain dari ruang
keluarga tradisional yang miskin. Jadi, waktu juga harus disesuaikan
dengan ruang, dan tempat.
Setting ruang
dapat berarti ruang dalam rumah atau luar rumah, tetapi juga dapat
berarti lebih mendetail, ruang yang bagaimana yang dikehendaki penulis
lakon. Hiasan, warna, dan peralatan dalam ruang akan memberi corak tersendiri dalam drama yang dipentaskan.
5. Tema/ Nada Dasar Cerita
Tema
merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan
dengna premis dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada
dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh
pengarangnya. Sudut pandangan ini sering dhubungkan dengan aliran yang
dianut oleh pengarang tersebut.
Pembahasan
tentang tema sengaja diletakkan pada bagian akhir, supaya pembaca dalam
membayangkan hubungan tema dengan strutur dramatik. Dalam drama, tema
akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot melalui tokoh-tokoh
protagonis dan antagonis denganperwatakan yang menungkinkan konflik dan
diformulasikan dalam bentuk dialog. Dialog tersebut mengejawantahkan
tema dari lakon/ naskah.Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman
jiwa pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan. Tema yang
kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam
passion (suasana jiwa yang luar biasa). Konflik batin dalam drama harus benar-benar dihayati oleh pengarang.
Dengan
tema yang kuat semacam itu, pembaca akan lebih mudah dan cepat
menangkap dan menafsirkan tema yang dimaksud oleh pengarang. Sebaliknya,
jika pengarang kurang kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwanya,
maka sulit sekali pembaca menangkap tema yang dimaksukkan. Struktur dan alur dramatik tidak jelas bagi pembaca.
Drama
besar mengemukakan tema yang abadi. Tema yang abadi biasanya bersifat
interpersonal, artinya mengatasi kepentingan individu, golongan, suku,
bangsa, agama, dan kurun waktu. Tema drama besar, diterima di segala
kurun waktu, oleh segala bangsa, pada segala umur dan dalam segala taraf
budaya.
6. Amanat/ Pesan Pengarang
Amanat
yang hendak disampaikan pengarang melalui dramanya harus dicari oleh
pembaca atau penonton. Seorang pengarang drama sadar atau tidak- pasti
menyampaikan amanat dalam karyanya itu. Pembaca cukup teliti akan dapat
menangkap apa yang tersirat di balik yang tersurat. Jika tema karya
sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, maka amanat berhubungan dengan makna (significance)
dari karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus,
sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca
dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan
semuanya cenderung dibenarnkan. Tema bersifat objektif. Ada drama yang
bertema ketuhanan, perikemanusiaan, cinta, patriotisme, kritik sosial,
renungan hidup, dan sebagainya. Amanat yang hendak disampaiakan oleh
pengarang perlu diberikan beberapa alternatif. Di dalam menafsirkan
amant itu, kita dapat bersikap akomodatif (Waluyo, 2003: 28).
Amanat
sebuah drama akan lebih mudah dihayati penikmat, jika drama itu
dipentaskan. Amanat itu biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan
secara praktis. Jika meminjam isitilah Horace dulce et utile, maka manta itu menyorot pada masalah utile atau manfaat yang dapat dipetik dari karya drama itu.
7. Petunjuk Teknis
Dalam
naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis, yang sering pula disebut
teks samping. Dalam sandiwara radio, sandiwara televisi atau scenario
film, kedudukan teks samping ini sangat penting. Teks samping ini
memberikan petunjuk teknis tntang tokoh, waktu, suasana pentas, suara,
musik, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, warna
suara, perasaan yang mendasari dialog, dan sebagainya. Teks samping ini
biasanya ditulis dengan tulisan berbeda dari dialog (misalnya huruf
miring atau huruf besar semua).
Teks
samping juga berguna sekali untuk memberikan petunjuk kapan aktor harus
diam, pembicaraan pribadi, lama waktu sepi antar kedua pemain,
jeda-jeda kecil atau panjang, dan sebagainya. Petunjuk teknis yang
lengkap akan memudahkan sutradara dalam menafsirkan naskah. Petunjuk
watak, usia, dan keadaan sosial aktor/ aktris akan membantu sutradara
dalam menghayati watak secara total, sehingga pemilihan aktor atau
aktris dapat lebih tepat.
C. Klasifikasi Drama
Klasifikasi
drama didasarkan atas jenis stereotip manusia dari tanggapan manusia
terhadap hidup dan kehidupan. Seorang pengarang drama dapat menghadapi
kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan sebaliknya juga dari
sisi menyedihkan. Dapat juga seorang pengarang memberikan variasi antara sedih dan gembira.
Pada
abad XVIII ada berbagai jenis naskah drama, di antaranya adalah
lelucon, banyolan, opera balada, komedi sentimental, komedi tinggi,
tragedi borjouis, dan tragedi neoklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut.
1. Tragedi (duka derita)
Tragedi atau drama duka adalah drma yang melukiskan kisah sedih yang besar danagung. Tokoh dalam tragedy adalah tragic hero artinya pahlawan yang mengalami nasib tragis. Drama-drama Shakespeare di
samping memenuhi kriteria jenis drama lain juga diklasifikasikan
sebagai drama tragedi Hamlet, Macbeth dan Romeo-Yuliet termasuk drama
duka.
Contoh
lain dari drama tragedi, misalnya Mrs. Alving karya Henrik Ibsen, Juno
karya OCasey, Robert Mayo karya ONeil, Blanhe du Bois karya Williams,
dan Willy Loman karya Miller.
2. Komedi (drama ria)
Komedi
adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat
dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan
kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini
bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau
tawa riang.
Drama komedi ditampilkan tokoh yang tolol, konyol atau tokoh bijaksana tetapi lucu. Dalam cerita jenaka kita
mengenal tokoh-tokoh Pak Pandir, Pak Belalang, Si Luncai, Musang
Berjanggut, Abu Nawas, dan Si Kabayan yang merupakan tokoh lucu. Dalam
contoh-contoh cerita jenaka tersebut kita jumpai tokoh tolol (bloon)
seperti dalam Pak Pandir, Pak Belalang, dan tokoh bijaksana tetapi lucu
seperti Abu Nawas, Musang Berjanggut, dan Si Kabayan.
3. Melodrama
Melodrama
adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang
mendebarkan hati dan mengharukaan. Penggarapan alur dan penokohan yang
kurang dipertimbangkan secara cermat, maka cerita seperti
dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan penonton.
4. Dagelan (farce)
Dagelan
disebut juga banyolan. Sering kali jenis drama ini disebut dengan
komedi murahan atau komedi picisan atau komedi ketengan.
D. Pembelajaran Apresiasi Drama
Drama adalah salah satu genre sastra
yang berada pada dua dunia seni, yaitu seni sastra dan seni pertunjukan
atau teater. Orang yang melihat drama sebagai seni sastra menunjukkan
perhatiannya pada seni tulis teks drama yang dinamakan juga dengan seni
lakon. Teknik penulisan teks drama berbeda dengan teknik penulisan puisi
atau prosa. Orang yang menganggap drama sebagai seni pertunjukan
(teater) fokus perhatiannya ditujukan pada pertunjukannya atau
pementasannya, tidak semata pada teksnya saja. Teks sastra menurut
pandangan mereka hanyalah bagian dari seni pertunjukan yang harus
berpadu dengan unsur lainnya, yaitu: gerak, suara, bunyi, musik, dan
rupa. Bahkan sumber ekspresi seni pertunjukan tidak hanya teks drama
melainkan juga teks-teks lainnya di luar unsur sastra, seperti: teks
pidato, pledoi, dan penyidikan, berita di media massa, esai, dan
lain-lain.
Baik
drama sebagai karya sastra maupun sebagai bagian dari kelengkapan
teater, teks drama selalu mengarah pada pementasan. Hal inilah yang
membedakan genre sastra drama dengan genre sastra puisi maupun prosa
fiksi. Arah terhadap pementasan itu menyebabkan drama identik dengan
pementasan.
Berdasarkan
pembelajaran yang ditawarkan, guru dapat merancang pembelajaran drama
yang mengajak siswa beraktivitas dengan kegiatan drama. Misalnya, guru
akan melaksanakan pembelajaran menulis pengalaman yang manarik dalam
bentuk drama. Untuk menulis naskah drama tentunya diperlukan pemahaman
tentang unsur-unsur yang terdapat di dalam teks drama.
Sebagai
sebuah teks sastra, drama merupakan suatu genre sastra yang mempunyai
konvensi (kaidah) yang dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama,
yang berhubungan dengan kaidah bentuk, yaitu adanya alur dan
pengaluran, tokoh dan penokohan, latar ruang dan waktu, dan perlengkapan
(sarana). Kedua, yang berhubungan dengan kaidah stilistika,
yaitu bahasa serta dialog yang digunakan sesuai dengan lingkungan
sosial, watak yang diemban tokoh, serta amanat yang disampaikan melalui
dialogdialog yang dikemukakan.
Di
sisi lain, Remy Silado mengemukakan, dalam memahami teks drama terdapat
empat kualifikasi yang perlu diperhatikan. Keempat kualifikasi tersebut
adalah: (1) isi dramatik, (2) bahasa dramatik, (3) bentuk dramatik, dan
(4) struktur dramatik.
Isi dramatik adalah
gagasan yang akan dikemukakan dalam drama. Misalnya, Sepandai-pandai
tupai melompat sekali jatuh juga. Dari gagasan tersebut, dapat
dikembangkan sebuah drama bagaimana seseorang harus berjalan pada jalan
yang benar, tidak sombong, karena manusia mempunyai kelemahan. Bahasa dramatik adalah bahasa drama yang digunakan, apakah bahasa prosaik, puitik, atau sosiologik yang akan digunakan.
Bentuk dramatik adalah ragam ekspresi, gaya ekspresi, dan plot literer. Ragam ekspresi yang digunakan secara umum adalah tragedi, komedi, tragedi-komedi, melodrama, dan banyolan (force).
Gaya ekspresi adalah visi dan pandangan penulis yang penuangannya
sesuai dengan paham atau aliran yang dianut pengarang. Plot literer
adalah plot yang terdapat dalam teks drama.
Struktur dramatik adalah
perkembangan antara konflik yang muncul, memuncak, dan berakhir.
Penampilan bentuk fisik teks drama yang berbeda dengan teks pada fiksi
adalah dialog. Melalui dialoglah berkembangnya jalan cerita. Penunjukan
tentang latar yang dikehendaki dituliskan dengan rinci.
Berdasarkan
atas pandangan tentang struktur drama, siswa dapat mengembangkan
pengalamannya yang menarik untuk dituliskan menjadi sebuah teks drama.
Mereka bebas memilih tokoh yang akan dituangkan dalam dialognya.
Demikian juga dengan latar yang dikehendakinya. Kebebasan berekspresi
dalam drama akan dapat membangkitkan aktualisasi diri mereka.
E. Ekspresi Drama
1. Beberapa Pelatihan Menulis Naskah Drama
Dengan
pengetahuan mengenai konvensi drama dan dengan ditambah keberanian,
kita dapat memulai untuk menulis drama. Berikut ini merupakan pelatihan
praktis yang dimodifikasi dari Moody (1971: 88), yaitu (1) menggali
nilai-nila dramatik (dari drama yang sudah ada), (2) menulis dialog
imajiner, dan (3) menciptakan situasi dramatik dari berbagai sumber.
a. Mengadaptasi, Menyadur, dan Memvisualisasi Drama yang Sudah Ada
Drama
yang tersedia di perpustakaan, di toko-toko buku, atau yang dijadikan
bahan kurikulum di sekolah lebih banyak yang “enak” untuk dibaca
daripada dipentaskan. Hal itu disebabkan tidak semua pengarang drama
mengetahui seluk-beluk teater atau pemanggungan, meskipun ketika mereka
menulis drama, benaknya pasti berusaha untuk memvisualisasi panggung.
Keadaan ini mengakibatkan pihak yang akan mementaskan drama, misalnya
sutradara, perlu menyunting terlebih dahulu naskah drama yang akan
dipentaskan. Selain itu, antara drama sebagai karya sastra di satu pihak
dan teater di lain pihak merupakan bentuk seni yang memiliki kekhasan
masing-nasing. Dalam teater, naskah drama hanyalah salah satu unsur
teater sehingga kretaivitas sutradara lebih penting daripada otonomi
pengarang drama.
Anggap
saja bahwa Anda adalah seorang sutradara yang akan mewujudkan sebuah
naskah drama ke dalam seni pertunjukan. Ada dua buah naskah drama yang
menarik Anda, akan tetapi terdapat dua masalah yang belum terpecahkan.
Naskah pertama merupakan naskah terjemahan dari bahasaasing sehingga
belum kontekstual. Naskah kedua sedikit sekali mencantumkan kramagung
atau petunjuk pentasnya sehingga miskin dengan imajinasi visual.
Bagaimana cara memecahkan masalah ini? Agar kontekstual, naskah pertama
dapat Anda adaptasi atau Anda sadur sesuai dengan konteks zaman dan
tempat yang Anda inginkan dan naskah kedua dapat dikonkretkan dengan
lebih memperjelas kramagungnya. Contoh pertama telah kita singgung pada
saat membicarakan Rendra dengan drama Perampok-nya, sedangkan
cohtoh kedua sering kali dilakukan oleh sutradara dalam proses
produksinya, yaitu dengan lebih mengkonkretkan naskah drama dengan floo-rplan (penggambaran arah gerak pemain) dan promptbook (naskah yang sudah disunting sesuai dengan keperluan pementasan).
b. Membuat Dialog Imajiner
Latihan
menulis pun dapat Anda lakukan dengan membuat dialog imajiner
berdasarkan situasi dramatik yang sangat Anda kenal. Misalnya, Anda
membuat dialog antara dua pihak yang memiliki masalah atau konsep yang
bertentangan: para buruh dengan majikannya, para pemburu dengan pencinta
lingkungan hidup, para pedagang kakilima dengan petugas Tibum atau
Satpol P.P., atau dapat juga kita memecahkan persoalan yang di tinjau
dari dua sudut yang berbeda. Di media massa kadang-kadang terdapat
rubrik yang berisi wawancara imajiner dengan tokoh-tokoh yang sudah
meninggal, misalnya wawancara imajiner Christianto Wibisono dengan Bung
Karno. Wawancara itu dibuat karena pengarang (pewawancara) sangat
mengenal subjek yang dibicarakan. Dia tahu betul siapa Bung Karno, apa
gagasan dan filsafatnya.
c. Mendramakan berbagai Sumber yang Mengandung Peristiwa Dramatik
Zaman
kita kini adalah zaman informasi. Apabila peristiwa kecil dan remeh
dapat menarik karena dikemas secara apik dalam pemberitaannya, bagaimana
dengan peristiwa besar, seperti jatuhnya pesawat terbang, kudeta
berdarah, gempa bumi, dan meningganya kepala negara? Peristiwa-peristiwa
seperti itu tentu dapat Anda jadikan bahan penulisan drama. Dengan
catatan, Anda mesti mampu melihat atau menemukan peristiwa dramatik di
dalamnya. Misalnya, apabila Anda membaca berita mengenai jatuhnya
pesawat terbang Adam Airi atau Garuda, peristiwa dramatik dapat Anda
buat dengan membayangkan bahwa Anda adalah bagian dari penumpang yang
selamat, atau ketika Anda membaca beritaterhentinya pertandingan sepak
bola karena ulah penonton yang berlaku anarki, Anda membayangkan bahwa
Andalah trouble maker-nya sehingga khawatir, cemas, dan takut berkecamuk di dalam dada.
Sumber
pencarian peristiwa dramatik, tentunya tidak hanya berita dalam surat
kabar, majalah, atau televisi, namun segala sumber yang menarik Anda dan
dipandang sebagai potensi dalam memunculkan peristiwa dramatik.
Misalnya, esai, pledoi pengadilan, bahkan profil seorang tokoh dapat
mengandung peristiwa dramatik, terlebih-lebih jika orientasi kita pada
pertunjukkan di atas panggung. Sebagai bukti, kelompok teater di
Jakarta, yaitu Teater SAE pernah menampilkan drama berjudul Pertumbuhan di Meja Makan, yang
naskahnya bersumber dari berbagai tulisan di surat kabar; Wellem
Pattirajawane, seorang aktor dari Teater Kecil, pernah menampilkan
monolog yang bersumber dari buku Indonesia Menggugat karangan
Bung Karno, Atau Adi Kurdi, aktor dari Bengkel Teater Rendra, pernah
menampilkan monolog yang bersumber dari profil dan keberanian Adi Andojo
sebagai hakim agung muda.
Namun,
kita harus kembali pada tujuan semula, yaitu berlatih menulis drama.
Oleh sebab itu, segala bahan yang dipilih dibaktikan agar Anda terampil
menulis drama, misalnya dengan mengemas bahan itu secara apik ke dalam
dialog dan kramagung, yang kemudian ditata kembali dalam adegan demi
adegan serta babak.
2. Memainkan Drama
Untuk
sampai pada puncak pementasan drama, setidaknya ada dua tahap yang
harus dilalui, yaitu tahap persiapan dan tahap pelatihan.
a. Tahap Persiapan
(1) Memilih Naskah Drama
Pemilihan
naskah drama untuk pementasan bergantung kepada keperluan, namun
hendaknya harus dipertimbangkan dari berbagai segi. Untuk kepentingan
hari besar Islam, misalnya Anda dapat mementaskan drama Masyitoh karya Ajip Rosidi, Iblis karya Mumammad Diponegoro, atau Ashabul Kahfi karya Godi Suwarna. Dalam merayakan Hari Kemerdekaan, Anda dapat memilih drama Nyaris karya N. Riantiarno, Domba-Domba Revolusi karya B. Soelarto, atau Fajar Sidik karya
Emil Sanosa. Akan tetapi, pemilihan itu pun mesti disesuaikan dengan
kondisi yang ada. Katakanlah, Anda telah sepakat untuk mementaskan drama
Masyitoh. Kesepakatan itu sebaiknya berdasarkan pertimbangan
bahwa para pemainnya siap berlatih, waktu mencukupi, dana tersedia, dan
calon penonton, berdasarkan pengamatan secara umum, akan sangat
antusias.
(2) Mendapatkan Izin Penulis
Setiap
karya yang diterbitkan biasanya dilindungi oleh undang-undang. Apabila
Anda melanggarnya, maka sama saja dengan melanggar hak cipta orang lain.
Oleh sebab itu, agar tidak mendapatkan sanksi-sanksi di kemudian hari,
alangkah arifnya jika kita mengusahakan izin dari pengarangnya, baik
secara tertulis maupun lisan. Drama-drama yang dibuat untuk kepentingan
latihan, misalnya sebagai pelengkap atau lampiran dalam buku teks atau
yang ditampilkan secara amatir di kelas tidaklah pelu mendapat izin.
Akan tetapi, drama untuk kepentingan pentas yang sifatnya komersial
sudah selayaknya dilengkapi dengan izin pengarang atau penerbit yang
mewakilinya.
(3) Memilih Sutradara
Menurut
Suyatna Anirun (1987:33-35), sutradara pada hakikatnya adalah seorang
seniman, diplomat, organisator, dan seorang guru, yang berfungsi sebagai
seniman kreatif dan pencipta kondisi kerja teater.
Sebagai
seniman kreatif, sutradara berfungsi sebagai penafsir utama naskah,
bertanggung jawab pada penyelesaian bentuk, meramalkan semua kondisi,
menguasai serta mampu menerapkan prinsip-prinsip estetis, seperti
masalah ruang dan bentuk, jarak estetik, dan psikologi apresiasi.
Sebagai pencipta kondisi kerja teater, ia pun bertugas untuk
mengkoordinasikan kerja ensambel (bersama), membantu pemain mewujudkan
perannya, dan membantu atau bekerja sama dengan pekerja lainnya,
misalnya pnata artisitik. Untuk mengkonkretkan konsep artistiknya,
sutradara hendaknya membuat ploor-plane yang merupakan rencana pentas (gambar dari proyeksi skeneri); mengalihkan naskah menjadi prompt-book, yaitu
buku kerja, yang selain sebagai naskah suntingan berfungsi pula untuk
mencatat dan merevisi segala kegiatan selama proses latihan;
mengkonkretkan setting, properties, rias, busana, musik, tata suara, dan efek khusus.
(4) Mempelajari atau Menganalisis Naskah
Sebenarnya,
tugas mempelajari dan menganalisis naskah adalah tugas utama sutradara.
Akan tetapi, agar para pemain dan pekerja panggung lainnya dapat
bekerja sama demi keberhasilan pementasan, maka semua pihak dapat
memberikan andil dalam mengutuhkan penafsiran naskah di atas panggung.
Sehubungan
dengan menganalisis naskah, Anda dapat saja kembali pada bagian
sebelumnya pada saat kita berbicara tentang konvensi dan kaidah umum
drama. Misalnya, Anda memahami kembali prinsip alur dan struktur drama
menurut Aristoteles. Drama konvensional biasanya dapat ditelaah dengan
menggunakan prinsip Aristoteles, yaitu dengan menemukan bagian
eksposisi, konflikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.
Apabila
prinsip Aristoteles sulit diterapkan dalam drama yang akan dipentaskan,
Anda dapat saja menggunakan teori lain. Saini K.M., misalnya,
menawarkan teori atau teknik analis dengan memperlakukan naskah sebagai
“pola peristiwa” (pattern of events). Menurut teori ini, naskah
drama dapat dikelompokkan ke dalam empat pola peristiwa, yaitu (1) pola
perubahan, (2) pola belajar, (3) pola kejayaan dan kejatuhan, dan (4)
pola perjuangan melawan kejahatan.
Dalam
pola perubahan, tokoh utama mengalami perubahan baik dalam status,
keadaan, maupun nasibnya. Misalnya, dalam drama Yunanai yang terkenal
karya Sophocles, Tokoh Oeidiphus yang pada awalnya merupakan seorang
raja yang gagah dan terhormat berubah menjadi seorang buta yang terhina.
Dalam pola belajar, tokoh utama mengalami proses belajar dari kondisi
tidak tahu, tidak bijaksana dan keliru menuju ke keadaan yang
sebaliknya. Dalam pola kejayaan dan kejatuhan, misalnya tampak pada
drama Ken Arok karya Saini K.M. sendiri. Ken Arok yang berjaya
dengan membunuh Tunggul Ametung dan mengawini Ken Dedes akhirnya mesti
jatuh tersungkur karena keris Empu Gandring yang ditusukkan oleh putera
Tunggul Ametung. Terakhir, pola perjuangan melawan kejahatan merupakan
pola yang sangat populer dan mudah Anda temukan sebab masalah yang
diusungnya sangat kontras sehingga ibarat membedakan warna hitam dan
putuh. Dengan apa pola peristiwa terwujud? Untuk menjawabnya, Anda
tinggal mengingat bahwa hakikat drama adalah konflik. Karena konflik
yang melibatkan tokoh utama itulah, pola-pola peristiwa muncul, yang
kemudian harus Anda temukan dalam naskah yang Anda analisis.
b. Tahap Pelatihan atau Proses Produksi
Hal-hal yang harus Anda perhatikan pada tahap proses produksi adalah sebagai berikut:
(1) Mencari bentuk
Pencarian
bentuk dilakukan dengan menganalisis naskah drama, membacanya bersama
sehingga dapat memilih peran yang tepat, mewujudkan naskah dalam gerak (blocking), dan menguasai/menundukkan naskah dan ruang. Di sinilah sutradara memfungsikan ploor-plane (gambar
berupa rencana pentas) dan prompt-book-nya (naskah drama yang sudah disunting untuk kepentingan pelatihan) secara optimal. Bagaimana ia mengatur blocking para pemain sehingga sampai pada blocking yang tepat. Karena revisi terus dilakukan, sutradara tidak perlu membuat floo-rplane yang baku. la dapat saja menghapus arah jalan atau keluar-masuk pemain yang telah ditulisnya di atas floor-plane untuk sampai pada bentuk yang diinginkan. Demikian pula dengan promt-book. Agar sutradara dan pemain leluasa menggunakan prompt-book, sebaiknya
buku kerja itu dibuat ke dalam ukuran folio sehingga dapat memuat
catatan-catatan yang diperlukan selama pelatihan berlangsung.
(2) Pengembangan
Pengembangan
permainan dilakukan dengan memberi isi, mengembangkan, dan membangun
klimaks. Tentu saja semua dilakukan setelah Anda mengikuti pelatihan
dasar drama, seperti berlatih konsentrasi, imajinasi, emosi, olah vokal,
olah tubuh, dan olah rasa atau sukma. Di bawah ini akan diuraikan
panduan yang dibuat oleh Rendra (1982) dalam Tentang Bermain Drama atau Suyatna Anirun (1979) dalam Teknik Pemeranan. Secara ringkas, panduan tersebut adalah sebagai berkut:
a) Teknik muncul; dilakukan agar kita dapat memberikan kesan pertama kepada penonton secara meyakinkan.
b) Teknik memberi isi; dilakukan
agar kita dapat mengisi kalimat sesuai dengan tuntutan drama yang
dipentaskan, yaitu dengan memberikan tekanan dinamik, nada, dan tempo
secara tepat.
c) Teknik pengembangan vokal dan tubuh; dilakukan
agar permainan kita tidak datar, tetapi memikat penonton. Pengembangan
vokal atau pengucapan dilakukan dengan menaikkan atau menurunkan volume,
tinggi nada, kecepatan tempo suara, sedangkan pengembangan tubuh dapat
dilakukan dengan menaikkan/menurunkan tingkatan posisi jasmani,
berpaling, berpindah tempat, menggerakkan anggota badan, dan mimik.
d) Teknik membina puncak dan membangun klimaks; dilakukan
agar kita dapat menahan tingkatan perkembangan sebelumnya (disebut juga
dengan teknik menahan), yaitu dengan menahan intensitas emosi, menahan
reaksi terhadap perkembangan alur, teknik gabungan, teknik permainan
bersama, dan teknik penempatan pemain.
e) Teknik menonjolkan; dilakukan
agar kita dapat menonjolkan hasil penafsiran, terutama dengan teknik
dinamika visual yang bersumber dari pengembangan jasmani.
f) Teknik timing atu ketepatan waktu; dilakukan
agar hubungan waktu antara gerakan jasmani dan dialog kita berjalan
dengan tepat, yaitu dengan melakukan gerakan sebelum, seiring, atau
sesudah katakata diucapkan.
g) Teknik menakar bobot permainan; dilakukan agar kita bermain secara proporsional.
h) Teknik mengatur waktu, irama, tempo, dan jarak langkah; dilakukan agar permainan tidak kedodoran.
(3) Pemantapan
Dalam
proses pemantapan, sutradara harus melakukan koordinasi dan mengatur
tempo serta irama permainan sehingga tampak tidak kedodoran. Hafal
naskah dan blocking belum tentu menghasilkan permainan yang penuh “greget” dan penuh atmosfer hidup. Oleh sebab itu, sutradara mesti peka dan
mempertajam intuisi dan daya kritisnya sehingga permainan yang mantap dapat dihasilkan.
(4) Pelatihan umum
Pelatihan
umum dilakukan manakala sutradara menganggap naskah yang sedang
digarapnya itu telah layak pentas. Oleh sebab itu, pada latihan umum ini
para pemain harus tampil utuh laiknya bermain di hadapan para penonton.
(5) Pergelaran
Pergelaran
atau pementasan merupakan puncak dari pelatihan yang kita lakukan.
Keberhasilan pergelaran sangat bergantung kepada kerja sama serta
kesolidan di antara para pendukungnya. Masalah utama yang dihadapi
sutradara dan pekerja lainnya adalah menghayati dan mengkomunikasikan
naskah yang diusungnya secara artistik. Dengan kata lain, kita harus
dapat mengatasi bagaimana agar naskah sebagai medium verbal sastrawan
dapat diterjemahkan, bahkan diperkuat daya ungkapnya dengan media audio
(bunyi vokal dan musik), visual (bentuk, warna, dan cahaya), dan kinetik
(gerak) sehingga penonton dapat menyerap nilai-nilai pengalaman, baik
yang bersifat umum maupun estetik.
Agar
sebuah produksi pergelaran terkelola secara rapi dan proporsional, kita
dapat saja menggabungkan para pekerja drama dalam sebuah organisasi.
Misalnya, apabila organisasi itu independen, maka bagannya dapat disusun
seperti berikut, sesuai dengan tawaran dari Taylor (1988:20):
Category Bahan Ajar
|
8 Comments →
Pelangi dan Bintang
Mei 8th, 2010
by mastiah
Oleh: Mastiah
Sudah kukatakan …
Aku tidak suka pelangi
Aku suka bintang
Bukan karena pelangi terlihat lebih feminin
dan bintang lebih maskulin
Bukan …
Jangan kau memaksaku
mengatakan pelangi lebih indah
dan bintang tak lebih indah dari pelangi
Kau tahu …
Aku tidak setuju dengan pendapatmu
Ya…aku tidak setuju
Hei…kenapa kau memerah?
Bukankah berbeda pendapat tak masalah?
Dengar…
Pelangi hanya merah, kuning, hijau
Tidak ada warnaku
Denganku dan warnaku
Pelangi tak pernah bersahabat
Karena itu, aku suka bintang
Bintang membuatku indah
Bintang bersahabat denganku
Bintang tak membuat warnaku hanya hitam
Ya…akulah malam
Bukan…
Aku bukan gelap
Aku malam
Berbeda dengan gelap
Aku suka bintang
Aku tidak suka pelangi
Pelangi hanya merah, kuning, hijau
Tak ada hitam
Category Puisi
|
12 Comments →
Hujan
Mei 4th, 2010
by mastiah
Oleh: Purnamawati
Menjelang siang itu
Dari balik tirai
Kutatap rumput hijau pepohonan
Seakan damai tersebar ke relung jiwa ini
Tak lama langit biru menjadi kelam
Awan putih beranjak pergi
Matahari entah ke mana
Dan titik-titik air pun membasahi tanah
Menebarkan bau bumi
Langit .
Apakah ini sindiran darimu?
Mengapa kau menangis
Seharusnya aku yang mengucurkan air mata
Tangisan pedih
Karena cintaku beranjak pergi
Tetesan kesedihan
Atas nama, hati yang terluka .
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Category Puisi
|
3 Comments →
Jeritan Alam
Mei 4th, 2010
by mastiah
Oleh: M. Irfandi
Hutanku tak hijau lagi
Lautku tak biru lagi
Di mana alamku yang dulu
Hutan sudah gundul
Laut sudah tercemar
Di mana hewan akan tinggal
Rinduku pada keindahan
Rinduku pada kemurnian
Di mana kuharus mencari
Semua tinggal kenangan
Semua tinggal harapan
Semua hanya mimpi
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Category Puisi
|
4 Comments →
Cinta
Mei 4th, 2010
by mastiah
Oleh: Nova Ayusari
Indah teras dalam hati
Perasaan yang telah aku alami
Mungkinkah ini sebuah cint.
Cinta yang selalu kita alami
Perasaan ini kadang membuat senang
Kadang membuat sedih begitu yang aku alami
Cinta
Kau akan selalu dalam hati
Menemani hari-hariku
Dalam keadaan suka maupun duka
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Category Puisi
|
No Comments →
Kuda
Mei 4th, 2010
by mastiah
Oleh: Winarno
Kudaku pagi hari kau lari
Siang hari kau lari
Malam hari kau lari
Untuk member nafkah pada tuanmu
Tak pandang panas dan hujan
Kau terus berjuang da bersemangat
Kudaku jasamu tetap kuingat
Sampai akhir hayat
Karena Kaulah penyelamar keluargaku
*Penulis adalah mahasiswi STKIP Melawi
Program Studi PGSD Reguler A Kelas C
Category Puisi
|
No Comments →
Tamparan Itu
Mei 1st, 2010
by mastiah
Oleh: Mastiah
Aku kenal dia karena dikenalkan oleh teman
kenalanku. Namaku Bintang katanya dengan suara yang datar. Aku Sunirah,
balasku. Dia gagah, tampan, kharismatik, bodinya atletis. Dari cara
bicaranya mencerminkan bahwa dia pria yang cerdas. Dia pria idamanku.
Sudah satu minggu aku tidak pernah bertemu dengannya sejak dari perkenalanku yang pertama. Aku kangen.
Hari ini dia janji akan bertemu lagi denganku di tempat ini. Dia bilang, bawa
juga temanmu biar suasana lebih ramai. Tapi aku tidak membawa temanku
karena aku ingin berdua saja dengannya, dan aku akan katakan padanya
kalau temanku ada urusan yang tidak bisa ditunda.
Tempat ini sangat sepi, sangat pas untuk berduaan, tetapi sudah satu jam aku duduk di sini, dia belum datang juga. Apa dia lupa dengan janjinya? Sudah enam batang rokok aku hisap, dan segelas bir aku habiskan. Aku gelisah.
Nah itu dia! Dia tidak mengingkari janji. Dia masih seperti dulu,
seperti pertama aku kenal. Kali ini dia mengenakan jeans biru, kaos
hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung,
sampai kira-kira lima centimeter di bawah siku dan kancing kemeja yang dibiarkan terbuka. Aku tertarik.
Sudah menunggu lama ya? Tanyanya dengan suara yang berat . Aku diam saja dan tersenyum tipis.
Temanmu mana?
Ada urusan yang tidak bisa ditunda. Jawabku sesuai dengan rencana.
Lalu dia bercerita panjang lebar tentang keadaan politik dan ekonomi di negara ini. Tampaknya dia khawatir dengan bencana berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia. Aku lebih banyak diam dan hanya sesekali mengomentari. Aku lebih senang menyimak dan memperhatikan dia bicara, aku suka memperhatikan gerakgerik bibirnya yang mengeluarkan pendapat-pendapatnya tentang keadaan negara ini yang sebenarnya aku tak mengerti, dan aku tidak mau ambil pusing. Aku tak peduli.
Bibirnya bagus. Bibir bawahnya tebal tapi tak terlalu tebal, bentuknya jatuh, tapi tak terlalu jatuh. Bibir atasnya tipis tapi
tak terlalu tipis. Warnanya merah, tidak kecil dan tidak lebar. Indah
sekali! Aku bayangkan berciuman dengannya, bau mulutnya wangi, dia tidak
merokok dan tidak minum alkohol. Dia tidak seperti para lelaki yang sering meniduriku di
hotel berbintang dengan kasur yang empuk. Mulut mereka bau rokok dan
alkohol. Aku muak! Walaupun aku juga merokok dan minum alkohol. Aku
benci mereka! Mereka mengkhianati istri mereka dan anak-anak mereka. Jika bukan karena uang, tidak akan kulayani nafsu setan mereka.
Aku terus memperhatikan dia berbicara, tak ingin sedikit pun melepas pandanganku dari menatap wajahnya, terutama bibirnya. Aku tersenyum, aku geli dengan hasrat yang bergejolak di hatiku. Aku gila.
Sepertinya dia sadar bahwa aku terus memandanginya dan sepertinya dia heran dengan senyumku barusan.
Ada apa Nir? Ada yang aneh pada diriku? Dia bertanya sambil memeriksa penampilannya dan keadaan sekelilingnya kemudian bercermin di meja tempat menaruh minuman kami yang kebetulan terbuat
dari kaca. Dia tampak kebingungan. Aku tetap tak melepaskan pandanganku
darinya. Aku suka dengan kebingungannya, aku senang mempermainkan
hatinya.
Lalu dia memandangku. Aku menggelengkan kepalaku
tanda tidak ada yang aneh, lalu aku katakan padanya Everything is ok!
Agar dia merasa tenang kembali. Dia tersenyum lega kemudian menghirup kopi yang sedari tadi tidak pernah disentuhnya.
Lalu kenapa? Kenapa pandanganmu seperti itu kepadaku?
Aku tersenyum dan menjawab tak sepatah kata pun. Lalu kuberanikan diriku untuk mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat, semakin dekat, dekat
sekali. Harum mulutnya semakin terasa di penciumanku. Hangat nafasnya
semakin menggetarkan hasratku. Lalu kudekatkan bibirku ke telinganya.
Dekat sekali. Pipi kami bersentuhan dan bibirku menyentuh telinganya,
lalu kubisikkan, Aku ingin berciuman denganmu!
Why? Dia bertanya lagi dengan suara yang tetap tenang dan sopan, sepertinya permintaanku itu biasa saja dan bukan permintaan yang amoral.
Aku menjauhkan mulutku dari telinganya dan kembali kudekatkan wajahku ke wajahnya. Tepat di depan wajahnya, aku suka
kamu. Kukatakan lirih padanya. Kami terdiam sejenak. Suasana kafe
semakin sepi. Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya, lalu kubuka mulutku
pelan-pelan dan kututup mataku dengan lembut. Aku pasrah! Kutunggu sikapnya, kunanti ciumannya.
Aku tidak mau! Ucapnya singkat dengan suara yang datar. Aku tidak menyangka dengan ucapannya itu, aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan apakah malu ataukah jengkel. Dia angkuh! Dia munafik! Mengapa dia tidak mau, apa dia tidak tertarik
padaku. Aku cantik, tubuhku langsing, putih, mulus, bibirku seksi,
bahkan aku primadona di sebuah hotel berbintang. Para pria hidung belang
rela membayar tarif yang sangat besar untuk tidur denganku. Ah.. dia munafik!
Mengapa? Tanyaku dengan nada jengkel.
Aku sudah punya istri dan anak.
Lalu?
Aku tidak ingin mengkhianati istriku dan memberi contoh yang buruk pada anakku.
Anak dan istrimu tidak ada di sini, mereka tidak akan bisa melihat kita.
Tapi Tuhan melihat kita. Jawabnya datar.
Ahomong kosong dengan jawabannya itu. Aku tak
percaya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah ada, Tuhan hanya khayalan
manusia yang sok moralis saja.
Kalau Tuhan memang melihat kita, coba tunjukkan padaku.
Prak dia menamparku. Keras! Sakit! Aku semakin marah, ingin kukumpulkan semua kekuatanku untuk melawannya tetapi aku tidak kuasa. Aku ingin menangis, tetapi aku tidak mau , aku tidak boleh kalah.
Mengapa, mengapa kamu menamparku? Kamu marah.
Kamu tidak bisa menunjukkan padaku Tuhanmu itu, Ha! Ha..ha..ha.. Aku
tertawa mengejek, geli sekali rasanya hati ini. Tapi aku sakit, sakit
sekali.
Bagaimana rasanya? Sakit? Coba tunjukkan padaku mana sakit itu? bagaimana rupa sakit itu?
Aku diam. Kepalaku tunduk. Aku tidak bisa menatap wajahnya. Aku marah, semakin marah. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya itu.
Kenapa diam? Kamu tidak bisa menjawab
pertanyaanku. Kamu tidak bisa menunjukkan padaku. Itulah Tuhan, Tuhan
tidak bisa dilihat, tapi Dia ada dan hanya bisa dirasakan.
Bintang pergi setelah memanggil pelayan dan
membayar semua pesanan lalu mengucapkan selamat tinggal padaku, dia
pergi berlalu meninggalkanku sendiri yang tetap diam dan tunduk tak
kuasa untuk mengangkat wajahku. Apa benar yang dikatakannya? Aku
bingung, aku tidak tahu. Apa Tuhan bisa dirasakan? Mengapa
aku tidak rasakan itu. Kudiam. Lama aku termenung. Tak terasa air mata
jatuh membasahi wajahku. Aku gelisah, aku malu, aku takut, takut sekali,
sebuah rasa yang pertama kali aku rasakan. Tapi terhadap siapa? Apakah terhadap Bintang, ataukah terhadap Tuhan?
Category Prosa, Unek-unek
|
6 Comments →
Biografi Sutan Takdir Alisjahbana
April 29th, 2010
by mastiah
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
Pernah
menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian
mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953),
Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962).
Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa
Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa
Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional,
Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas
Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi
Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Masa KecilSebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Ayah STA, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.
Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
Karya-karyanya
- Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
- Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
- Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
- Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
- Layar Terkembang (novel, 1936)
- Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
- Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
- Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
- Pelangi (bunga rampai, 1946)
- Pembimbing ke Filsafat (1946)
- Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
- The Indonesian language and literature (1962)
- Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
- Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
- Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
- Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
- The failure of modern linguistics (1976)
- Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
- Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
- Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
- Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
- Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
- Kalah dan Menang (novel, 1978)
- Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
- Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
- Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
- Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
- Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
- Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
- Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).
Penghargaan
Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
STA adalah pelopor dan tokoh “Pujangga Baru”.
Lain-lain
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.
From wikipedia.org
Category Tokoh Sastra
|
2 Comments →
Rinduku
April 27th, 2010
by mastiah
Karya : Rianti Dewi Rahayu
Risau Hatiku
Ingin selalu bertemu
Anganku melayang
Nafasku berhembus
Tak kulihat tanda kehadiranmu
Ingin rasanya kuteteskan air mata ini
Di saat malam datang
Embun pun mulai turun
Wajahmu seakan ada dibenakku
Ingin kusampaikan lewat angin bahwa aku mengharapkan kehadiranmu
Rindu hatiku
Akan canda tawamu
Hanya kehadiranmu yang dapat menghibur hatiku
Apakah kamu merasakan
Yang kurasakan saat ini?
Untukmu jantung hatiku
Langganan:
Postingan (Atom)