Tamparan Itu
Oleh: Mastiah
Aku kenal dia karena dikenalkan oleh teman
kenalanku. Namaku Bintang katanya dengan suara yang datar. Aku Sunirah,
balasku. Dia gagah, tampan, kharismatik, bodinya atletis. Dari cara
bicaranya mencerminkan bahwa dia pria yang cerdas. Dia pria idamanku.
Sudah satu minggu aku tidak pernah bertemu dengannya sejak dari perkenalanku yang pertama. Aku kangen.
Hari ini dia janji akan bertemu lagi denganku di tempat ini. Dia bilang, bawa
juga temanmu biar suasana lebih ramai. Tapi aku tidak membawa temanku
karena aku ingin berdua saja dengannya, dan aku akan katakan padanya
kalau temanku ada urusan yang tidak bisa ditunda.
Tempat ini sangat sepi, sangat pas untuk berduaan, tetapi sudah satu jam aku duduk di sini, dia belum datang juga. Apa dia lupa dengan janjinya? Sudah enam batang rokok aku hisap, dan segelas bir aku habiskan. Aku gelisah.
Nah itu dia! Dia tidak mengingkari janji. Dia masih seperti dulu,
seperti pertama aku kenal. Kali ini dia mengenakan jeans biru, kaos
hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung,
sampai kira-kira lima centimeter di bawah siku dan kancing kemeja yang dibiarkan terbuka. Aku tertarik.
Sudah menunggu lama ya? Tanyanya dengan suara yang berat . Aku diam saja dan tersenyum tipis.
Temanmu mana?
Ada urusan yang tidak bisa ditunda. Jawabku sesuai dengan rencana.
Lalu dia bercerita panjang lebar tentang keadaan politik dan ekonomi di negara ini. Tampaknya dia khawatir dengan bencana berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia. Aku lebih banyak diam dan hanya sesekali mengomentari. Aku lebih senang menyimak dan memperhatikan dia bicara, aku suka memperhatikan gerakgerik bibirnya yang mengeluarkan pendapat-pendapatnya tentang keadaan negara ini yang sebenarnya aku tak mengerti, dan aku tidak mau ambil pusing. Aku tak peduli.
Bibirnya bagus. Bibir bawahnya tebal tapi tak terlalu tebal, bentuknya jatuh, tapi tak terlalu jatuh. Bibir atasnya tipis tapi
tak terlalu tipis. Warnanya merah, tidak kecil dan tidak lebar. Indah
sekali! Aku bayangkan berciuman dengannya, bau mulutnya wangi, dia tidak
merokok dan tidak minum alkohol. Dia tidak seperti para lelaki yang sering meniduriku di
hotel berbintang dengan kasur yang empuk. Mulut mereka bau rokok dan
alkohol. Aku muak! Walaupun aku juga merokok dan minum alkohol. Aku
benci mereka! Mereka mengkhianati istri mereka dan anak-anak mereka. Jika bukan karena uang, tidak akan kulayani nafsu setan mereka.
Aku terus memperhatikan dia berbicara, tak ingin sedikit pun melepas pandanganku dari menatap wajahnya, terutama bibirnya. Aku tersenyum, aku geli dengan hasrat yang bergejolak di hatiku. Aku gila.
Sepertinya dia sadar bahwa aku terus memandanginya dan sepertinya dia heran dengan senyumku barusan.
Ada apa Nir? Ada yang aneh pada diriku? Dia bertanya sambil memeriksa penampilannya dan keadaan sekelilingnya kemudian bercermin di meja tempat menaruh minuman kami yang kebetulan terbuat
dari kaca. Dia tampak kebingungan. Aku tetap tak melepaskan pandanganku
darinya. Aku suka dengan kebingungannya, aku senang mempermainkan
hatinya.
Lalu dia memandangku. Aku menggelengkan kepalaku
tanda tidak ada yang aneh, lalu aku katakan padanya Everything is ok!
Agar dia merasa tenang kembali. Dia tersenyum lega kemudian menghirup kopi yang sedari tadi tidak pernah disentuhnya.
Lalu kenapa? Kenapa pandanganmu seperti itu kepadaku?
Aku tersenyum dan menjawab tak sepatah kata pun. Lalu kuberanikan diriku untuk mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat, semakin dekat, dekat
sekali. Harum mulutnya semakin terasa di penciumanku. Hangat nafasnya
semakin menggetarkan hasratku. Lalu kudekatkan bibirku ke telinganya.
Dekat sekali. Pipi kami bersentuhan dan bibirku menyentuh telinganya,
lalu kubisikkan, Aku ingin berciuman denganmu!
Why? Dia bertanya lagi dengan suara yang tetap tenang dan sopan, sepertinya permintaanku itu biasa saja dan bukan permintaan yang amoral.
Aku menjauhkan mulutku dari telinganya dan kembali kudekatkan wajahku ke wajahnya. Tepat di depan wajahnya, aku suka
kamu. Kukatakan lirih padanya. Kami terdiam sejenak. Suasana kafe
semakin sepi. Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya, lalu kubuka mulutku
pelan-pelan dan kututup mataku dengan lembut. Aku pasrah! Kutunggu sikapnya, kunanti ciumannya.
Aku tidak mau! Ucapnya singkat dengan suara yang datar. Aku tidak menyangka dengan ucapannya itu, aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan apakah malu ataukah jengkel. Dia angkuh! Dia munafik! Mengapa dia tidak mau, apa dia tidak tertarik
padaku. Aku cantik, tubuhku langsing, putih, mulus, bibirku seksi,
bahkan aku primadona di sebuah hotel berbintang. Para pria hidung belang
rela membayar tarif yang sangat besar untuk tidur denganku. Ah.. dia munafik!
Mengapa? Tanyaku dengan nada jengkel.
Aku sudah punya istri dan anak.
Lalu?
Aku tidak ingin mengkhianati istriku dan memberi contoh yang buruk pada anakku.
Anak dan istrimu tidak ada di sini, mereka tidak akan bisa melihat kita.
Tapi Tuhan melihat kita. Jawabnya datar.
Ahomong kosong dengan jawabannya itu. Aku tak
percaya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah ada, Tuhan hanya khayalan
manusia yang sok moralis saja.
Kalau Tuhan memang melihat kita, coba tunjukkan padaku.
Prak dia menamparku. Keras! Sakit! Aku semakin marah, ingin kukumpulkan semua kekuatanku untuk melawannya tetapi aku tidak kuasa. Aku ingin menangis, tetapi aku tidak mau , aku tidak boleh kalah.
Mengapa, mengapa kamu menamparku? Kamu marah.
Kamu tidak bisa menunjukkan padaku Tuhanmu itu, Ha! Ha..ha..ha.. Aku
tertawa mengejek, geli sekali rasanya hati ini. Tapi aku sakit, sakit
sekali.
Bagaimana rasanya? Sakit? Coba tunjukkan padaku mana sakit itu? bagaimana rupa sakit itu?
Aku diam. Kepalaku tunduk. Aku tidak bisa menatap wajahnya. Aku marah, semakin marah. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya itu.
Kenapa diam? Kamu tidak bisa menjawab
pertanyaanku. Kamu tidak bisa menunjukkan padaku. Itulah Tuhan, Tuhan
tidak bisa dilihat, tapi Dia ada dan hanya bisa dirasakan.
Bintang pergi setelah memanggil pelayan dan
membayar semua pesanan lalu mengucapkan selamat tinggal padaku, dia
pergi berlalu meninggalkanku sendiri yang tetap diam dan tunduk tak
kuasa untuk mengangkat wajahku. Apa benar yang dikatakannya? Aku
bingung, aku tidak tahu. Apa Tuhan bisa dirasakan? Mengapa
aku tidak rasakan itu. Kudiam. Lama aku termenung. Tak terasa air mata
jatuh membasahi wajahku. Aku gelisah, aku malu, aku takut, takut sekali,
sebuah rasa yang pertama kali aku rasakan. Tapi terhadap siapa? Apakah terhadap Bintang, ataukah terhadap Tuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar